PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERINDUSTRIAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
:
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur
yang merdeka, bersatu, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan pembangunan nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi;
b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan
dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan
industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan
dan kemampuan sumber daya yang tangguh;
c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui
penguatan struktur Industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan
mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan
industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan
nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
sudah tidak sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan industri sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perindustrian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia
Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dalam
rangka Demokrasi Ekonomi;
Dengan Persetujuan Bersama DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan
industri.
2.
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku
dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai
nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
3.
Industri Hijau adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya
efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga
mampu menyelaraskan
pembangunan
Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat.
4.
Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya
alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta
keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.
5.
Bahan Baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang
dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai
ekonomi
yang lebih tinggi.
6.
Jasa Industri adalah usaha jasa yang terkait dengan kegiatan Industri.
7.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
8.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
9.
Perusahaan Industri adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha
Industri yang berkedudukan di Indonesia.
10.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan
dan pengelolaan kawasan Industri.
11.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh
Perusahaan Kawasan Industri.
12.
Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan/atau inovasi
dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun dan
perekayasaan, metode, dan/atau system yang diterapkan dalam kegiatan Industri.
13.
Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf,
gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk
waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan
Perusahaan Industri.
14.
Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk
angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya
untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan
kegiatan Perusahaan Kawasan Industri.
15.
Informasi Industri adalah hasil pengolahan Data Industri dan Data Kawasan
Industri ke dalam bentuk tabel, grafik, kesimpulan, atau narasi analisis yang memiliki
arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya.
16.
Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja
yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data,
perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu
sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan
serta penyebarluasan data dan/atau
Informasi
Industri.
17.
Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang
ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang
standardisasi.
18.
Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara,
memberlakukan, dan mengawasi standar bidang Industri yang dilaksanakan secara
tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
19.
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20.
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.
21.
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Perindustrian.
Pasal
2
Perindustrian
diselenggarakan berdasarkan asas:
a.
kepentingan nasional;
b.
demokrasi ekonomi;
c.
kepastian berusaha;
d.
pemerataan persebaran;
e.
persaingan usaha yang sehat; dan
f.
keterkaitan Industri.
Pasal
3
Perindustrian
diselenggarakan dengan tujuan:
a.
mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;
b.
mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri;
c.
mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri
Hijau;
d.
mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan
atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;
e.
membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
f.
mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna
memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
g.
meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan
Pasal
4
Lingkup
pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a.
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian;
b.
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional;
c.
Kebijakan Industri Nasional;
d.
perwilayahan Industri;
e.
pembangunan sumber daya Industri;
f.
pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g.
pemberdayaan Industri;
h.
tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri;
i.
perizinan, penanaman modal bidang Industri, dan fasilitas; j. Komite Industri
Nasional;
j.
peran serta masyarakat; dan
k.
pengawasan dan pengendalian.
BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG
PERINDUSTRIAN
Pasal
5
(1) Presiden berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang Perindustrian.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Menteri.
(3) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan
Perindustrian.
Pasal 6
(1) Kewenangan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu
dilaksanakan oleh menteri terkait dengan berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan pengaturan
yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
7
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan
kewenangan masing-masing
menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan
pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
BAB III
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan Perindustrian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disusun Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional.
(2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
(3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional merupakan
pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan
Industri.
(4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
disusun\ untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali
setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
disusun dengan paling sedikit memperhatikan:
a.
potensi sumber daya Industri;
b.
budaya Industri dan kearifan lokal yang tumbuh dimasyarakat;
c.
potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
d.
perkembangan Industri dan bisnis, baik nasional maupun internasional;
e.
perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional; dan
f.
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana TataRuang Wilayah Provinsi,
dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
paling sedikit meliputi:
a.
visi, misi, dan strategi pembangunan Industri;
b.
sasaran dan tahapan capaian pembangunan Industri;
c.
bangun Industri nasional;
d.
pembangunan sumber daya Industri;
e.
pembangunan sarana dan prasarana Industri;
f.
pemberdayaan Industri; dan
g.
perwilayahan Industri.
(3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
disusun
oleh
Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan
masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
dilaksanakan
melalui Kebijakan Industri Nasional.
(5) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
10
(1) Setiap gubernur menyusun Rencana Pembangunan
Industri
Provinsi.
(2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu
kepada
Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
dan
Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun
dengan
paling
sedikit memperhatikan:
www.bpkp.go.id
a.
potensi sumber daya Industri daerah;
b.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau
Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c.
keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan
pembangunan
Industri di kabupaten/kota serta
kegiatan
sosial ekonomi dan daya dukung
lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan
dengan
Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh
Pemerintah
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal
11
(1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana
Pembangunan
Industri
Kabupaten/Kota.
(2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota
disusun
dengan
mengacu pada Rencana Induk Pembangunan
Industri
Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota
disusun
dengan
paling sedikit memperhatikan:
a.
potensi sumber daya Industri daerah;
b.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana
Tata
Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c.
keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial
ekonomi
serta daya dukung lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota
ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
setelah
dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL
Pasal
12
www.bpkp.go.id
(1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan
tindakan
untuk melaksanakan Rencana Induk
Pembangunan
Industri Nasional.
(2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit
meliputi:
a.
sasaran pembangunan Industri;
b.
fokus pengembangan Industri;
c.
tahapan capaian pembangunan Industri;
d.
pengembangan sumber daya Industri;
e.
pengembangan sarana dan prasarana;
f.
pengembangan perwilayahan Industri; dan
g.
fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka
waktu
5 (lima) tahun.
(4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri
berkoordinasi
dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan
masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal
13
(1) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud
dalam
Pasal 12 dijabarkan ke dalam Rencana Kerja
Pembangunan
Industri.
(2) Rencana Kerja Pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 1
(satu)
tahun.
(3) Rencana Kerja Pembangunan Industri disusun oleh
Menteri
berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan
masukan dari pemangku
kepentingan
terkait.
(4) Rencana Kerja Pembangunan Industri ditetapkan
oleh
Menteri.
BAB VPERWILAYAHAN INDUSTRI
Pasal
14
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan
penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri.
(2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan:
a.
rencana tata ruang wilayah;
b.
pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional;
c.
peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang
dimiliki daerah; dan
d.
peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.
(3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan melalui:
a.
pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri;
b.
pengembangan kawasan peruntukan Industri;
c.
pembangunan Kawasan Industri; dan
d.
pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perwilayahan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB VI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI
Bagian
Kesatu Umum
Pasal
15
Pembangunan
sumber daya Industri meliputi:
a.
pembangunan sumber daya manusia;
b.
pemanfaatan sumber daya alam;
c.
pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
d.
pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi; dan
e.
penyediaan sumber pembiayaan.
Bagian
Kedua Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pasal
16
(1) Pembangunan sumber daya manusia Industri
dilakukan
untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya
manusia Indonesia di bidang Industri.
(2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku
Industri, dan masyarakat.
(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan
sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan
kabupaten/kota.
(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
wirausaha Industri;
b.
tenaga kerja Industri;
c.
pembina Industri; dan
d.
konsultan Industri.
Pasal
17
(1) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a dilakukan untuk menghasilkan wirausaha
yang berkarakter dan bermental kewirausahaan serta mempunyai kompetensi sesuai dengan
bidang usahanya meliputi:
a.
kompetensi teknis;
b.
kompetensi manajerial; dan
c.
kreativitas dan inovasi.
(2) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a.
pendidikan dan pelatihan;
b.
inkubator Industri; dan
c.
kemitraan.
(3) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap calon wirausaha Industri dan wirausaha
Industri yang telah menjalankan kegiatan usahanya.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh:
a.
lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
lembaga pendidikan nonformal; atau
c.
lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal
18
(1) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (4) huruf b dilakukan untuk menghasilkan tenaga kerja
Industri yang mempunyai kompetensi kerja di bidang Industri sesuai dengan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia meliputi:
a.
kompetensi teknis; dan
b.
kompetensi manajerial.
(2)
Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling sedikit melalui kegiatan:
a.
pendidikan dan pelatihan; dan
b.
pemagangan.
(3) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga
kerja.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan
oleh:
a.
lembaga pendidikan formal sesuai dengan
ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b.
lembaga pendidikan nonformal;
c.
lembaga penelitian dan pengembangan yang
terakreditasi;
atau d. Perusahaan Industri.
Pasal
19
(1) Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1) terdiri atas:
a.
tenaga teknis; dan
b.
tenaga manajerial.
(2) Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling sedikit memiliki:
a.
kompetensi teknis sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di
bidang Industri; dan
b.
pengetahuan manajerial.
(3) Tenaga manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b paling sedikit memiliki:
a. kompetensi manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan
b. pengetahuan teknis.
Pasal
20
Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan
pelatihan Industri di wilayah pusat
pertumbuhan Industri.
Pasal 21
(1) Pembangunan pembina Industri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf c dilakukan untuk menghasilkan pembina
Industri yang kompeten agar mampu berperan dalam pemberdayaan Industri yang meliputi:
a.
kompetensi teknis; dan
b.
kompetensi manajerial.
(2) Pembangunan pembina Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
a.
pendidikan dan pelatihan; dan/atau
b.
pemagangan.
(3) Pembangunan pembina Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aparatur pemerintah di pusat dan di
daerah.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh:
a.
lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b.
lembaga pendidikan nonformal;
c.
lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi; atau
d.
Perusahaan Industri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal
22
Pembina
Industri dapat bermitra dengan asosiasi Industri dalam melakukan pembinaan dan
pengembangan Industri.
Pasal 23
(1) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4) huruf d merupakan tenaga ahli yang berperan untuk membantu,
memberi saran, dan menyelesaikan
permasalahan
yang dihadapi pelaku Industri dan Pembina Industri.
(2) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memiliki keterampilan teknis, administratif, dan
manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang
Industri.
(3) Konsultan Industri asing yang dipekerjakan di
Indonesia harus memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang
Industri.
Pasal 24
(1) Dalam keadaan tertentu Menteri dapat menyediakan
konsultan Industri yang kompeten.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan
konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 25
(1) Menteri menyusun Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia di bidang Industri.
(2) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di
bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atas usul Menteri.
(3) Penetapan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima usulan
Menteri.
(4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tidak ditetapkan,
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dinyatakan berlaku oleh Menteri sampai dengan ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang
Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia secara wajib.
(6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan
Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), PerusahaanIndustri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan
tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia.
(7) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri
yang tidak menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dikenai sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penutupan sementara;
d.
pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e.
pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
26
Untuk
memenuhi ketersediaan tenaga kerja Industri yang kompeten, Menteri
memfasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi dan tempat uji
kompetensi.
Pasal 27
(1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri
mengutamakan penggunaan tenaga kerja Industri dan konsultan Industri nasional.
(2) Dalam kondisi tertentu Perusahaan Industri
dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dapat menggunakan tenaga kerja Industri
asing dan/atau konsultan Industri asing.
(3) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri
yang menggunakan tenaga kerja Industri asing dan/atau konsultan Industri asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan alih pengetahuan dan keterampilan
kepada tenaga kerja Industri dan/atau konsultan Industri nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja
Industri dan konsultan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
28
(1) Tenaga kerja asing yang bekerja di bidang
Industri harus
memenuhi
Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia.
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya diperbolehkan bekerja dalam jangka waktu tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
29
Menteri
dapat melakukan pelarangan penggunaan tenaga kerja asing dalam rangka pengamanan
kepentingan strategis Industri nasional tertentu. Bagian Ketiga Pemanfaatan
Sumber Daya Alam
Pasal
30
(1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien,
ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
(2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh:
a.
Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi,
tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan
b.
Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan
pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah.
(3) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyusun rencana pemanfaatan sumber
daya alam.
(4) Penyusunan rencana pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) mengacu kepada Kebijakan Industri Nasional.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penutupan sementara;
d.
pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e.
pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(6) Ketentuan
mengenai pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Dalam
rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong
pengembangan Industri pengolahan di dalam negeri.
Pasal 32
(1) Dalam rangka peningkatan nilai tambah Industri
guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, Pemerintah dapat
melarang atau membatasi ekspor sumber daya alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelarangan atau pembatasan
ekspor sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal
33
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan
dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.
(2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber
daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan
Industri dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan
ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan
Kawasan Industri yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi wajib
melakukan manajemen energi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
35
(1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan
Kawasan Industri yang memanfaatkan air baku wajib melakukan manajemen air
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Pengembangan dan
Pemanfaatan Teknologi Industri
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab dalam pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan
Teknologi Industri.
(2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan
pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas,
nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri.
(3) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan
pemanfaatan Teknologi Industri dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi
dengan menteri terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan
terkait.
Pasal 37
Menteri
menetapkan kebijakan pemilihan, pengadaan, dan pemanfaatan Teknologi Industri
dengan memperhatikan aspek kemandirian, ketahanan Industri, keamanan, dan pelestarian
fungsi lingkungan.
Pasal 38
(1) Pemerintah dapat melakukan pengadaan Teknologi Industri.
(2) Pengadaan Teknologi Industri dilakukan melalui penelitian
dan pengembangan, kontrak penelitian dan pengembangan, usaha bersama,
pengalihan hak melalui lisensi, dan/atau akuisisi teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan
Teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 39
(1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat
melakukan pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci.
(2) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci
wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Teknologi
Industri melalui proyek putar kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Presiden.
(4) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang
tidak melakukan alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif; dan/atau
c.
penghentian sementara.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif
dan besaran denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal
40
(1) Pemerintah melakukan penjaminan risiko atas pemanfaatan
Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam negeri.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan risiko atas
pemanfaatan Teknologi Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Untuk pengendalian pemanfaatan Teknologi
Industri, Pemerintah:
a.
mengatur investasi bidang usaha Industri; dan
b.
melakukan audit Teknologi Industri.
(2) Pengaturan investasi bidang usaha Industri
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai
dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melakukan audit Teknologi Industri
sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) huruf b, Menteri berkoordinasi
dengan
menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan
di bidang riset dan teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai audit Teknologi
Industri
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan
Menteri.
Pasal 42
Pemerintah
dan Pemerintah Daerah memfasilitasi:
a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan
tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar
negeri;
b. promosi alih teknologi dari Industri besar,
lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya
ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau
c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau
Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang
Industri. Bagian Kelima Pengembangan dan PemanfaatanKreativitas dan Inovasi
Pasal 43
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan
dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri.
(2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan
inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di
masyarakat.
(3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas
dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan:
a.
penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas dan
berinovasi;
b.
pengembangan sentra Industri kreatif;
c.
pelatihan teknologi dan desain;
d.
konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan
e.
fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar
negeri. Bagian Keenam Penyediaan Sumber Pembiayaan
Pasal
44
(1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan
yang kompetitif untuk pembangunan Industri.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang
perseorangan.
(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan
kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan
usaha milik daerah.
(4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
dalam bentuk:
a.
pemberian pinjaman;
b.
hibah; dan/atau
c.
penyertaan modal.
Pasal
45
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan
dan/atau memberikan kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta.
(2) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian
kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a.
penyertaan modal;
b.
pemberian pinjaman;
c.
keringanan bunga pinjaman;
d.
potongan harga pembelian mesin dan peralatan; dan/atau
e.
bantuan mesin dan peralatan.
(3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan
pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 46
(1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan
pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan
perekonomian nasional.
(2) Penetapan kondisi dalam rangka penyelamatan perekonomian
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
(3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
(1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan
pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam rangka peningkatan
daya saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir.
(2) Penetapan kondisi dalam rangka peningkatan daya
saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 48
(1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan Industri, dapat
dibentuk lembaga pembiayaan pembangunan Industri.
(2) Lembaga
pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi
sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang Industri.
(3) Pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang.
BAB VII PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI
Bagian
Kesatu Umum
Pasal
49
Pembangunan
sarana dan prasarana Industri meliputi:
a.
Standardisasi Industri;
b.
infrastruktur Industri; dan
c.
Sistem Informasi Industri Nasional. Bagian Kedua Standardisasi Industri
Pasal
50
(1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan,
dan pengawasan Standardisasi Industri.
(2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam
wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
(3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 51
(1) Penerapan SNI oleh Perusahaan Industri bersifat sukarela.
(2)
Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah menerapkan
SNI dapat membubuhkan tanda SNI pada barang dan/atau Jasa Industri.
(3) Terhadap barang dan/atau Jasa Industri yang
telah dibubuhi tanda SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan
Industri harus tetap memenuhi persyaratan SNI.
Pasal
52
(1) Menteri dapat menetapkan pemberlakuan SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib.
(2) Penetapan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
untuk:
a.
keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan;
b.
pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c.
persaingan usaha yang sehat;
d.
peningkatan daya saing; dan/atau
e.
peningkatan efisiensi dan kinerja Industri.
(4) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan SNI yang telah ditetapkan.
(5) Pemberlakuan spesifikasi teknis secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan sebagian parameter SNI yang telah ditetapkan dan/atau standar internasional.
(6) Pemberlakuan pedoman tata cara secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri
berdasarkan tata cara produksi yang baik.
(7) Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang telah memenuhi:
a.
SNI yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI;
b.
SNI dan spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara
wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian; atau
c.
spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib,
wajib dibubuhi tanda kesesuaian.
Pasal
53
(1) Setiap Orang dilarang:
a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian
pada
barang dan/atau Jasa Industri yang tidak
memenuhi
ketentuan SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau
pedoman tata cara; atau
b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang
dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
(2) Menteri dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi
teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
Pasal
54
Setiap
barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik
barang dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan
kegiatan Jasa Industri.
Pasal
55
Menteri
berkoordinasi dengan menteri terkait menarik setiap barang yang beredar
dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b.
Pasal
56
Kewajiban
mematuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 oleh importer dilakukan
pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pasal
57
(1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui
penilaian kesesuaian.
(2) Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian
yang telah terakreditasi.
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah
terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga
penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri.
Pasal
58
Untuk
kelancaran pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara
secara wajib, Menteri:
a.
menyediakan, meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana laboratorium
pengujian standar Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri; dan
b.
memberikan fasilitas bagi Industri kecil dan Industri menengah.
Pasal
59
Menteri
mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal 60
(1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau
tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi
ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif.
(2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri
yang tidak menarik barang dan/atau
menghentikan
kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi
administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penutupan sementara;
d.
pembekuan izin usaha Industri; dan/atau
e.
pencabutan izin usaha Industri.
Pasal
61
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
50 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian
Ketiga Infrastruktur Industri
Pasal
62
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya
infrastruktur Industri.
(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di
dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.
lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri;
b.
fasilitas jaringan energi dan kelistrikan;
c.
fasilitas jaringan telekomunikasi;
d.
fasilitas jaringan sumber daya air;
e.
fasilitas sanitasi; dan
f.
fasilitas jaringan transportasi.
(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan melalui:
a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang
pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah
Daerah dengan swasta, badan usaha
milik
negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau
c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Pasal
63
(1) Untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien
dan efektif di wilayah pusat pertumbuhan Industri dibangun Kawasan Industri
sebagai infrastruktur Industri.
(2) Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus berada pada kawasan peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah.
(3) Pembangunan kawasan Industri dilakukan oleh
badan usaha swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau
koperasi.
(4) Dalam hal tertentu, Pemerintah memprakarsai pembangunan
kawasan Industri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kawasan Industri
diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Sistem Informasi Industri
Nasional
Pasal 64
(1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan
Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data
Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi
Industri Nasional.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota
memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data
Industri dan mengakses informasi.
Pasal
65
(1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan
Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala
kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data
Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem
Informasi Industri Nasional.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota
memberikan kemudahan kepada Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data
Kawasan Industri dan mengakses informasi.
Pasal 66
Berdasarkan
permintaan Menteri, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib
memberikan data selain Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Data
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 yang terkait dengan:
a.
data tambahan;
b.
klarifikasi data; dan/atau
c.
kejadian luar biasa di Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri.
Pasal
67
(1) Menteri mengadakan data mengenai perkembangan
dan peluang pasar serta perkembangan Teknologi Industri.
(2) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling sedikit melalui:
a.
sensus, pendataan, atau survei;
b.
tukar menukar data;
c.
kerja sama teknik;
d.
pembelian; dan
e.
intelijen Industri.
(3) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan oleh satuan kerja di bawah Menteri dan pejabat negara yang
ditempatkan di seluruh kantor perwakilan Negara Republik Indonesia di negara
lain.
(4) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
Pasal
68
(1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi
Industri Nasional.
(2) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a.
Data Industri;
b.
Data Kawasan Industri;
c.
data perkembangan dan peluang pasar; dan
d.
data perkembangan Teknologi Industri.
(3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terkoneksi dengan system informasi yang dikembangkan oleh
kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi,
dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan system informasi
di negara lain atau organisasi internasional.
(4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri
Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di
provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal
69
Pejabat
dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau
mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat
merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan
Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan
Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan
Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri
dan
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penutupan sementara;
d.
pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e.
pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b.
pembebasan dari jabatan;
c.
penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1
(satu) tahun;
d.
penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1
(satu) tahun;
e.
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau
f.
pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal
71
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi
Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan tata cara pengenaan
sanksi administratif serta besaran denda administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIIIPEMBERDAYAAN INDUSTRI
Bagian
Kesatu Industri Kecil dan Industri Menengah
Pasal
72
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan
dan pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri
kecil dan Industri menengah yang:
a.
berdaya saing;
b.
berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional;
c.
berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja; dan
d.
menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor.
(2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a.
perumusan kebijakan;
b.
penguatan kapasitas kelembagaan; dan
c.
pemberian fasilitas.
Pasal
73
Dalam
rangka merumuskan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf
a, Menteri menetapkan prioritas pengembangan Industri kecil dan Industri
menengah dengan mengacu paling sedikit kepada:
a.
sumber daya Industri daerah;
b.
penguatan dan pendalaman struktur Industri nasional; dan
c.
perkembangan ekonomi nasional dan global.
Pasal
74
(1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui:
a.
peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan,
serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan
b.
kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan,
serta asosiasi
Industri
dan asosiasi profesi terkait. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 75
(1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 72 ayat
(2)
huruf c diberikan dalam bentuk:
a.
peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi;
b.
bantuan dan bimbingan teknis;
c.
bantuan Bahan Baku dan bahan penolong;
d.
bantuan mesin atau peralatan;
e.
pengembangan produk;
f.
bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau;
g.
bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran;
h.
akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha
baru;
i.
penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang
berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau
j.
pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri
kecil dengan
Industri
menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan
Industri
besar,
serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan
prinsip
saling
menguntungkan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya
melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal
76
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 dan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
75 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Industri
Hijau
Pasal
77
Untuk
mewujudkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c,
Pemerintah melakukan:
a.
perumusan kebijakan;
b.
penguatan kapasitas kelembagaan;
c.
Standardisasi; dan
d.
pemberian fasilitas.
Pasal
78
(1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 huruf b dilakukan dengan peningkatan kemampuan dalam:
a.
penelitian dan pengembangan;
b.
pengujian;
c.
sertifikasi; dan
d.
promosi.
(2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait,
pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah,
serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
Pasal
79
(1) Dalam melakukan Standardisasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 huruf c, Menteri menyusun dan menetapkan standar Industri
Hijau.
(2) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
a.
Bahan Baku, bahan penolong, dan energi;
b.
proses produksi;
c.
produk;
d.
manajemen pengusahaan; dan
e.
pengelolaan limbah.
(3) Penyusunan standar Industri Hijau dilakukan
dengan:
a. memperhatikan sistem Standardisasi nasional dan/atau
sistem standar lain yang berlaku; dan
b. berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga
pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
lingkungan hidup, bidang riset dan teknologi, bidang Standardisasi, serta
berkoordinasi dengan asosiasi Industri, Perusahaan Industri, dan lembaga
terkait.
(4) Standar Industri Hijau yang telah ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi Perusahaan Industri.
Pasal
80
(1) Penerapan standar Industri Hijau sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) secara bertahap dapat diberlakukan secara
wajib.
(2) Pemberlakuan secara wajib sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Perusahaan Industri wajib memenuhi ketentuan
standar Industri Hijau yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi
ketentuan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
c.
denda administratif;
d.
penutupan sementara;
e.
pembekuan izin usaha Industri; dan/atau
f.
pencabutan izin usaha Industri.
Pasal
81
(1) Perusahaan Industri dikategorikan sebagai
Industri Hijau apabila telah memenuhi standar Industri Hijau sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79.
(2) Perusahaan Industri yang telah memenuhi standar Industri
Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat Industri Hijau.
(3) Sertifikasi Industri Hijau dilakukan oleh
lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi dan ditunjuk oleh
Menteri.
(4) Dalam hal
belum terdapat lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat membentuk lembaga sertifikasi
Industri Hijau.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
memperoleh sertifikat Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 82
Untuk
mewujudkan Industri Hijau, Perusahaan Industri secara bertahap:
a.
membangun komitmen bersama dan menyusun kebijakan
perusahaan
untuk pembangunan Industri Hijau;
b.
menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau;
c.
menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan; dan
d.
mengembangkan jaringan bisnis dalam rangka memperoleh Bahan Baku, bahan
penolong, dan teknologi ramah lingkungan.
Pasal 83
Ketentuan
lebih lanjut mengenai Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan
tata cara pengenaan sanksi administratif serta besaran denda administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga Industri Strategis
Pasal
84
(1) Industri Strategis dikuasai oleh negara.
(2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas Industri yang:
a.
memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat
hidup orang banyak;
b.
meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis;
dan/atau
c.
mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara.
(3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a.
pengaturan kepemilikan;
b.
penetapan kebijakan;
c.
pengaturan perizinan;
d.
pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
e.
pengawasan.
(4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a.
penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah;
b.
pembentukan usaha patungan antara Pemerintah dan swasta; atau
c.
pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing.
(5) Penetapan kebijakan Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
a.
penetapan jenis Industri Strategis;
b.
pemberian fasilitas; dan
c.
pemberian kompensasi kerugian.
(6) Izin usaha Industri Strategis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Menteri.
(7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan
menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk.
(8) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional dan
pengawasan distribusi.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri
Strategis
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Peningkatan
Penggunaan Produk Dalam Negeri
Pasal
85
Untuk
pemberdayaan Industri dalam negeri, Pemerintah meningkatkan penggunaan produk
dalam negeri.
Pasal 86
(1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 85 wajib digunakan oleh:
a.
lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan satuan
kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya
berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja
daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari
b.
badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta
dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan
dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya
dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta
dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. (2) Pejabat pengadaan
barang/jasa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai
sanksi administratif berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif; dan/atau
c.
pemberhentian dari jabatan pengadaan barang/jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administrative sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikecualikan dalam hal produk dalam negeri belum tersedia atau belum
mencukupi.
Pasal 87
(1) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
dilakukan
sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukkan dengan
nilai tingkat komponen dalam negeri.
(2) Ketentuan dan tata cara penghitungan tingkat komponen
dalam negeri merujuk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Tingkat komponen dalam negeri mengacu pada
daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh
Menteri.
(4) Menteri dapat menetapkan batas minimum nilai
tingkat komponen dalam negeri pada Industri tertentu.
Pasal
88
Dalam
rangka penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86,
Pemerintah dapat memberikan fasilitas paling sedikit berupa:
a. preferensi harga dan kemudahan administrasi dalam
pengadaan barang/jasa; dan
b. sertifikasi tingkat komponen dalam negeri.
Pasal
89
Pemerintah mendorong badan usaha swasta dan
masyarakat untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
Pasal
90
Ketentuan
lebih lanjut mengenai peningkatan penggunaan produk dalam negeri diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Kerja Sama Internasional di Bidang Industri
Pasal
91
(1) Dalam rangka pengembangan Industri, Pemerintah melakukan
kerja sama internasional di bidang Industri.
(2) Kerja sama internasional di bidang Industri
ditujukan untuk:
a.
pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional;
b.
pembukaan akses pada sumber daya Industri;
c.
pemanfaatan jaringan rantai suplai global sebagai sumber peningkatan
produktivitas Industri; dan
d.
peningkatan investasi.
(3) Dalam melakukan kerja sama internasional di
bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:
a.
menyusun rencana strategis;
b.
menetapkan langkah penyelamatan Industri; dan/atau
c.
memberikan fasilitas.
(4) Dalam hal kerja sama internasional di bidang
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdampak pada Industri, terlebih
dahulu dilakukan melalui konsultasi, koordinasi, dan/atau persetujuan Menteri.
Pasal 92
Pemberian
fasilitas kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 91 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi:
a.
bimbingan, konsultasi, dan advokasi;
b.
bantuan negosiasi;
c.
promosi Industri; dan
d.
kemudahan arus barang dan jasa.
Pasal
93
(1) Dalam meningkatkan kerja sama internasional di
bidang Industri, Pemerintah dapat menempatkan pejabat Perindustrian di luar
negeri.
(2) Penempatan pejabat Perindustrian di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan
ketahanan Industri dalam negeri.
(3) Dalam hal belum terdapat pejabat Perindustrian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menugaskan perwakilan Republik Indonesia
di luar negeri untuk meningkatkan kerja sama internasional di bidang Industri.
(4) Pejabat Perindustrian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri.
Pasal
94
Pemerintah
dapat membina, mengembangkan, dan mengawasi kerja sama internasional di bidang
Industri yang dilakukan oleh badan usaha, organisasi masyarakat, atau warga
negara Indonesia.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
internasional di bidang Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB
IX TINDAKAN PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN INDUSTRI
Bagian
Kesatu Tindakan Pengamanan Industri
Pasal
96
(1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan Industri
dalam negeri, Pemerintah melakukan tindakan pengamanan Industri.
(2) Tindakan pengamanan Industri dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
pengamanan akibat kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam
ketahanan dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri; dan
b.
pengamanan akibat persaingan global yang menimbulkan ancaman terhadap ketahanan
dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri.
Pasal
97
Tindakan
pengamanan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf a
ditetapkan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usulan Menteri.
Pasal 98
(1) Penetapan tindakan pengamanan sebagai akibat persaingan
global sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b berupa tarif dan
nontarif.
(2) Penetapan tindakan pengamanan berupa tariff dilakukan
oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan atas
usul Menteri.
(3) Penetapan tindakan pengamanan berupa nontariff dilakukan
oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
(4) Tindakan
pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didukung dengan program
restrukturisasi Industri.
Pasal 99
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan tindakan pengamanan Industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian
Kedua Tindakan Penyelamatan Industri
Pasal
100
(1) Pemerintah dapat melakukan tindakan penyelamatan
Industri atas pengaruh konjungtur perekonomian dunia yang mengakibatkan
kerugian bagi Industri dalam negeri.
(2) Tindakan penyelamatan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui:
a.
pemberian stimulus fiskal; dan
b.
pemberian kredit program.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
penyelamatan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X PERIZINAN, PENANAMAN MODAL BIDANG INDUSTRI,
DAN FASILITAS
Bagian Kesatu Izin Usaha Industri dan Izin Usaha
Kawasan Industri
Pasal 101
(1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki
izin usaha Industri.
(2) Kegiatan
usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
Industri kecil;
b.
Industri menengah; dan
c.
Industri besar.
(3) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian
izin usaha Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
(5) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a.
Izin Usaha Industri Kecil;
b.
Izin Usaha Industri Menengah; dan
c.
Izin Usaha Industri Besar.
(6) Perusahaan Industri yang telah memperoleh izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib:
a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan
izin yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil
produksi, penyimpanan, serta pengangkutan. Pasal 102
(1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai
investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
(2) Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau
nilai investasi.
(3) Industri besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
101 ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai
investasi.
(4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi
untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh
Menteri.
Pasal
103
(1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal
102 ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(2) Industri yang memiliki keunikan dan merupakan
warisan budaya bangsa hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
(3) Industri menengah tertentu dicadangkan untuk
dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(4) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal
104
(1) Setiap Perusahaan Industri yang memiliki izin
usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (6) dapat melakukan
perluasan.
(2) Perusahaan Industri yang melakukan perluasan
dengan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan wajib memiliki izin perluasan.
Pasal 105
(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib
memiliki izin usaha Kawasan Industri.
(2) Izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian
izin usaha Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
(4) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi
standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang
melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan Kawasan Industri.
Pasal
106
(1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan
Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang
akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
a.
belum memiliki Kawasan Industri;
b.
telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan
Industrinya telah habis;
(3) Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi:
a.
Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran
lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
b.
Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya
memerlukan lokasi khusus.
(4) Perusahaan Industri yang dikecualikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal
107
(1) Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin
usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1), Perusahaan
Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101
ayat (6), dan/atau Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin perluasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2)
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin usaha Kawasan Industri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1), Perusahaan Kawasan Industri yang
tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105
ayat (4), Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin perluasan Kawasan
Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (5), Perusahaan Industri
yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1), Perusahaan Industri yang dikecualikan yang
tidak berlokasi di kawasan peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(3)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda administratif;
c.
penutupan sementara;
d.
pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e.
pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
Pasal
108
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 101, izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, izin usaha
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan kewajiban berlokasi
di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan
sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penanaman Modal
Bidang Industri
Pasal
109
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman
modal di bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas
pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri
nasional dan peningkatan daya saing Industri. (2) Untuk mendorong penanaman
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebijakan yang
memuat paling sedikit mengenai:
a.
strategi penanaman modal;
b.
prioritas penanaman modal;
c.
lokasi penanaman modal;
d.
kemudahan penanaman modal; dan
e.
pemberian fasilitas. Bagian Ketiga Fasilitas Industri
Pasal
110
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat
memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal
untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas
pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan
peningkatan daya saing Industri;
b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan
pengembangan Teknologi Industri dan produk;
c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan
Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;
d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan
Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;
e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan
Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;
f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor;
g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang
menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib;
h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang
memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan
berkelanjutan;
i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk
mewujudkan Industri Hijau; dan
j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan
produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Pasal
111
(1) Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110
ayat (1) berupa fiskal dan nonfiskal.
(2) Fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk fasilitas
dan tata cara pemberian fasilitas nonfiskal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI KOMITE INDUSTRI NASIONAL
Pasal
112
(1) Dalam
rangka mendukung pencapaian tujuan
pembangunan
Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
3 dibentuk Komite Industri Nasional.
(2) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diketuai oleh menteri, yang beranggotakan menteri terkait, kepala
lembaga pemerintah nonkementerian yang berkaitan dengan Industri, dan perwakilan
dunia usaha.
(3) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(1) mempunyai tugas:
a.
melakukan koordinasi dan evaluasi dalam rangka pembangunan Industri yang
memerlukan dukungan lintas sektor dan daerah terkait dengan:
1.
pembangunan sumber daya Industri;
2.
pembangunan sarana dan prasarana Industri;
3.
pemberdayaan Industri;
4.
perwilayahan Industri; dan
5.
pengamanan dan penyelamatan Industri;
b.
melakukan pemantauan tindak lanjut hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
c.
melakukan koordinasi pelaksanaan kewenangan pengaturan yang bersifat teknis
untuk bidang Industri tertentu dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan
pengaturan Industri; dan
d.
memberi masukan dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, dan Rencana Kerja Pembangunan
Industri.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata
kerja Komite Industri Nasional diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal
113
Untuk
mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3),
Komite Industri Nasional dapat membentuk kelompok kerja yang terdiri dari pakar
terkait di bidang Industri yang berasal dari unsure pemerintah, asosiasi
Industri, akademisi, dan/atau masyarakat.
Pasal
114
(1) Pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional
didukung oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Perindustrian.
(2) Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan
tugas Komite Industri Nasional dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja
negara.
BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal
115
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a.
pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
b.
penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
116
(1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari dampak
negatif kegiatan usaha Industri.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB
XIII
PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN
Pasal
117
(1) Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian
terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap
peraturan di bidang
Perindustrian
yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.
(3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang
Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a.
sumber daya manusia Industri;
b.
pemanfaatan sumber daya alam;
c.
manajemen energi;
d.
manajemen air;
e.
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara;
f.
Data Industri dan Data Kawasan Industri;
g.
standar Industri Hijau;
h.
standar Kawasan Industri;
i.
perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; dan
j.
keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan
pengangkutan.
(4) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri
dan/atau lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri.
(5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota secara bersamawww. sama atau sesuai dengan
kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
118
Dalam
hal pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59
dan Pasal 117 ayat (3) huruf e ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, pejabat
atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) dan ayat (5) melapor
kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian.
BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal
119
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian
diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1), berwenang:
a.
menerima laporan dari Setiap Orang tentang adanya dugaan tindak pidana mengenai
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara
wajib di bidang Industri;
b.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan
dengan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
c.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dalam perkara tindak
pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
d.
memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan
tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
e.
meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang sehubungan dengan
peristiwa tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata
cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
f.
melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di tempat tertentu yang diduga menjadi
tempat penyimpanan atau tempat diperoleh barang bukti dan menyita benda yang
dapat digunakan sebagai barang bukti dan/atau alat bukti dalam tindak pidana
mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan
secara wajib di bidang Industri;
g.
meminta bantuan tenaga ahli dalam melakukan penyidikan tindak pidana mengenai
SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara
wajib di bidang Industri;
h.
menangkap pelaku tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau
pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; dan/atau
i.
menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya
tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang
diberlakukan secara wajib di bidang Industri atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil
penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada penuntut umum
melalui pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat meminta bantuan
kepada aparat penegak hukum.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal
120
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor,
dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI,
spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib
di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya
memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang
tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan
secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf
b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 121 Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilakukan oleh Korporasi,
tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal
122
Pada
saat berlakunya Undang-Undang ini, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan
Industri yang telah beroperasi dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal
123
Pada
saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3274)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini; dan
c. Izin Usaha Industri dan/atau Izin Perluasan
Industri, Tanda Daftar Industri atau izin yang sejenis, yang telah dimiliki
oleh Perusahaan Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri dan/atau Izin
Perluasan Kawasan Industri yang telah dimiliki oleh Perusahan Kawasan Industri
yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan
tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri
yang bersangkutan masih beroperasi sesuai dengan izin yang diberikan. Pasal 124
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang
ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini
diundangkan. Pasal 125 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di
Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan
di Jakarta
pada
tanggal 15 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK
INDONESIA,ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014
NOMOR 4 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 013
TENTANG PERINDUSTRIAN
I. UMUM
Pembangunan
nasional harus memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat
dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur di dalam Negara Republik
Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diselenggarakan
berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi. Pembangunan nasional dilaksanakan dengan
memanfaatkan kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh dan didukung oleh
nilai-nilai budaya luhur bangsa, guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan
ketahanan bangsa untuk kepentingan nasional. Pembangunan nasional di bidang
ekonomi dilaksanakan untuk menciptakan struktur ekonomi yang mandiri, sehat dan
kukuh dengan menempatkan pembangunan Industri sebagai penggerak utama.
Globalisasi dan liberalisasi membawa dinamika perubahan yang sangat cepat dan
berdampak luas bagi perekonomian nasional. Di satu sisi pengaruh yang paling
dirasakan adalah terjadi persaingan yang semakin ketat dan di sisi lain membuka
peluang kolaborasi sehingga pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan
dalam bentuk perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan
yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Pembangunan
sektor Industri telah memiliki landasan hukum Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian sebagai penjabaran operasional Undang-Undang Dasar 1945
khususnya Pasal 33. Namun, landasan hukum tersebut sudah tidak memadai sehingga
perlu diganti dengan undang-undang yang baru guna mengantisipasi dinamika
perubahan lingkungan strategis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Perubahan
internal yang sangat berpengaruh adalah dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi pergeseran
peran dan misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pembangunan
Industri. Perubahan eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan Industri
ditandai dengan telah diratifikasi perjanjian internasional yang bersifat
bilateral, regional, dan multilateral yang mempengaruhi kebijakan nasional di
bidang Industri, investasi, dan perdagangan. Penyempurnaan Undang-Undang
tentang Perindustrian bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan
akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus mampu menjadi landasan
hukum bagi tumbuh, berkembang, dan kemajuan Industri nasional. Undang-Undang
tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrumen pengaturan yang
efektif dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan,
keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
Pokok-pokok pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan
urusan pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan Industri, pembangunan
sumber daya Industri, pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan
Industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman
modal bidang Industri dan fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta
masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
1
Cukup
jelas.
Pasal
2
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah kepentingan bangsa, negara, dan
masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh elemen bangsa.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah semangat kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta
menjaga keseimbangan kemajuan dalam kesatuan ekonomi nasional.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “kepastian berusaha” adalah iklim usaha kondusif yang dibentuk
melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan
dengan pelaksanaannya.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “pemerataan persebaran” adalah upaya untuk mewujudkan
pembangunan Industri di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki pada setiap daerah.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “persaingan usaha yang sehat” adalah persaingan antarpelaku
usaha dalam menjalankan produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa
yang dilakukan dengan cara yang jujur dan taat terhadap hukum.
Huruf f
Yang
dimaksud dengan “keterkaitan Industri” adalah hubungan antar-Industri dalam
mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai untuk mewujudkan struktur
Industri nasional yang sehat dan kokoh. Keterkaitan Industri dapat berupa
keterkaitan yang dimulai dari penyediaan Bahan Baku, proses manufaktur, jasa
pendukung Industri, sampai distribusi ke pasar dan pelanggan, dan/atau
keterkaitan yang melibatkan Industri kecil, Industri menengah, dan Industri
besar.
Pasal
3
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Huruf
f
Cukup
jelas.
Huruf
g
Yang
dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan”
adalah pembangunan sektor Industri sebagai penggerak ekonomi nasional harus
dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia terutama golongan ekonomi lemah atau
kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita
nasional. Tujuan utama pembangunan Industri bermuara pada segala upaya untuk
mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan
sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan
individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang
melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga Negara Indonesia.
Pasal
4
Cukup
jelas.
Pasal
5
Cukup
jelas.
Pasal
6
Cukup
jelas.
Pasal
7
Cukup
jelas.
Pasal
8
Cukup
jelas.
Pasal
9
Cukup
jelas.
Pasal
10
Cukup
jelas.
Pasal
11
Cukup
jelas.
Pasal
12
Cukup
jelas.
Pasal
13
Cukup
jelas.
Pasal
14
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “rantai nilai” (value chain) adalah serangkaian urutan kegiatan
utama dan kegiatan pendukung yang dilakukan Perusahaan Industri untuk mengubah
input (Bahan Baku) menjadi output (barang jadi) yang memiliki nilai tambah bagi
pelanggan/konsumen.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
15
Cukup
jelas.
Pasal
16
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “pembangunan sumber daya manusia Industri” adalah menyiapkan
sumber daya manusia di bidang Industri yang mempunyai kompetensi.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja professional di
bidang Industri.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di
bidang Industri di pusat dan di daerah.
Huruf d
Yang
dimaksud dengan “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang
memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.
Pasal
17
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “inkubator Industri” adalah lingkungan dan program dengan
karakteristik tertentu yang menawarkan bantuan teknis dan manajemen kepada
perorangan, perusahaan, atau calon perusa-haan untuk menghasilkan perusahaan
atau calon perusahaan yang siap berbisnis secara profesional.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “kemitraan” adalah kerja sama pengembangan sumber daya manusia
antara Industri kecil dengan Industri menengah dan/atau Industri besar dengan
memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan saling menguntungkan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf a
Yang
dimaksud dengan “pendidikan formal” yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan
berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “pendidikan nonformal” yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan
formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
18
Cukup
jelas.
Pasal
19
Cukup
jelas.
Pasal
20
Cukup
jelas.
Pasal
21
Cukup
jelas.
Pasal
22
Asosiasi
Industri merupakan organisasi yang didirikan oleh pelaku usaha Industri di
sektor usaha Industri tertentu guna memperjuangkan hak dan kepentingan
anggotanya.
Pasal
23
Cukup
jelas.
Pasal
24
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah kondisi yang menunjukkan tidak atau
belum cukup tersedia tenaga kerja Industri atau konsultan Industri nasional
yang kompeten sesuai dengan jenis kegiatan dan keahlian yang dibutuhkan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
25
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Yang
dimaksud dengan “jenis pekerjaan tertentu” adalah jenis pekerjaan yang mempunyai
risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, baik
terhadap pekerja maupun produk yang dihasilkan seperti pekerjaan: pembuatan
boiler, operator reaktor nuklir, pengelasan di bawah air, proses penggunaan
radiasi, dan pengoperasian bejana bertekanan (pressure vessel).
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Cukup
jelas.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Pasal
26
Cukup
jelas.
Pasal
27
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu belum cukup tersedia tenaga kerja
Industri dan/atau konsultan Industri yang kompeten di dalam negeri.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
28
Cukup
jelas.
Pasal
29
Cukup
jelas.
Pasal
30
Ayat
(1)
Sumber
daya alam dalam ketentuan ini merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan
sebagai Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air baku untuk Industri. Sumber
daya alam dimaksud meliputi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara
langsung dari alam, antara lain, mineral dan batubara, minyak dan gas bumi,
kayu, air, dan panas bumi, serta sumber daya lainnya.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal
31
Cukup
jelas.
Pasal
32
Cukup
jelas.
Pasal
33
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam” adalah
upaya untuk memenuhi kebutuhan Industri dalam negeri baik yang bersumber dari
dalam negeri maupun luar negeri.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan
Industri dalam negeri” adalah pengendalian ekspor atas Bahan Baku yang berasal
dari sumber daya alam non hayati seperti bahan galian tambang, logam dan non
logam (bijih besi, bauksit, pasir besi, pasir kuarsa dan lain-lain), atau yang
bersifat hayati, seperti hasil hutan, dengan mengutamakan kebutuhan dalam
negeri. Ekspor Bahan Baku dimungkinkan hanya apabila kebutuhan Industri dalam
negeri sudah tercukupi.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
34
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Perusahaan Industri tertentu” adalah Industri yang rata-rata
mengonsumsi energi lebih besar atau sama dengan batas minimum konsumsi energi
yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan konservasi
energi, misalnya Industri semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas,
petrokimia, pupuk, dan keramik.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
35
Cukup
jelas.
Pasal
36
Cukup
jelas.
Pasal
37
Yang
dimaksud dengan “aspek kemandirian” adalah pemilihan, pengadaan, dan
pemanfaatan Teknologi Industri harus memperhatikan hak Perusahaan Industri
dalam pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan karakteristik Industri
masing-masing tanpa melanggar atau merugikan pihak lain. Yang dimaksud dengan
“aspek ketahanan Industri” adalah Industri yang berdaya saing, efisien,
berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan.
Pasal
38
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “penelitian dan pengembangan” adalah kegiatan yang menghasilkan
penemuan baru yang bermanfaat bagi Industri atau pengembangan dalam rangka
peningkatan efisiensi dan produktivitas Industri. Yang dimaksud dengan “usaha
bersama” adalah joint venture.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
39
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah suatu keadaan dimana kebutuhan
pembangunan Industri sangat mendesak sementara teknologi belum dikuasai dalam
desain, perekayasaan, pengadaan dan pembangunan (engineering, procurement,
construction). Yang dimaksud dengan “proyek putar kunci” adalah pengadaan
teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian
(asesmen), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian) dan
penyerahan dalam kondisi siap digunakan, atau yang selanjutnya dikenal
dengan
istilah turnkey project. Dalam perjanjian pengadaan teknologi melalui proyek
putar kunci juga
mencakup
pelatihan dan dukungan operasional yang berkelanjutan. Rancang bangun dalam
pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan perencanaan
pendirian Industri/pabrik secara keseluruhan atau bagianbagiannya. Perekayasaan
dalam pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan
perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan
Industri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
40
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri” adalah
penjaminan kepada Industri yang memanfaatkan teknologi hasil penelitian dan
pengembangan teknologi dari dalam negeri (lembaga penelitian, perusahaan,
perguruan tinggi, dan sebagainya) yang belum teruji.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
41
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “pengendalian pemanfaatan Teknologi Industri” adalah pembatasan
dan pelarangan pemanfaatan teknologi yang dinilai tidak layak untuk Industri,
antara lain, boros energi, berisiko pada keselamatan dan keamanan, serta
berdampak negatif pada lingkungan. Yang dimaksud dengan “audit Teknologi
Industri” adalah cara untuk melaksanakan identifikasi kekuatan dan kelemahan
aset teknologi (tangible and intangible asset) dalam
rangka
pelaksanaan manajemen teknologi sehingga manfaat teknologi dapat dirasakan
sebagai faktor yang penting dalam meningkatkan mutu kehidupan umat manusia dan
meningkatkan daya saing Industri.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah peraturan
perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan
persyaratan bagi penanaman modal.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
42
Cukup
jelas.
Pasal
43
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “budaya Industri” adalah sesuatu yang dimiliki oleh
masyarakat
Industri yang sekurang-kurangnya terdiri atas penerapan sikap
mental
dan moralitas yang diwujudkan dalam nilai-nilai efisiensi, tanggung
jawab
sosial, kedisiplinan kerja, kepatuhan pada aturan, keharmonisan dan
loyalitas,
demokrasi ekonomi, nasionalisme, dan kepercayaan diri. Yang dimaksud dengan
“kearifan lokal” merupakan gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakat. Contoh: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum
adat, dan aturan-aturan khusus.
Ayat
(3)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “Industri kreatif” adalah Industri yang mentransformasi dan
memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk
menghasilkan barang dan jasa.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Pasal
44
Cukup
jelas.
Pasal
45
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “memberikan kemudahan pembiayaan” adalah memberikan keringanan
persyaratan dalam mendapatkan pembiayaan yang digunakan untuk pengembangan
Industri dalam rangka antara lain promosi efisiensi energi, pengurangan emisi
gas dan rumah kaca, penggunaan Bahan Baku dan bahan bakar terbarukan, serta
pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.
Ayat
(2)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Yang
dimaksud dengan “keringanan bunga pinjaman” adalah bantuan Pemerintah kepada
Perusahaan Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya bunga dalam
pembelian peralatan dan mesin dan/atau modal kerja.
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “potongan harga” adalah bantuan Pemerintah kepada Perusahaan
Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya dalam pembelian peralatan dan
mesin.
Huruf
e
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Pasal
46
Cukup
jelas.
Pasal
47
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Industri pionir” adalah Industri yang memiliki keterkaitan
yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan
teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
48
Cukup
jelas.
Pasal
49
Cukup
jelas.
Pasal
50
Cukup
jelas.
Pasal
51
Cukup
jelas.
Pasal
52
Cukup
jelas.
Pasal
53
Cukup
jelas.
Pasal
54
Cukup
jelas.
Pasal
55
Cukup
jelas.
Pasal
56
Cukup
jelas.
Pasal
57
Cukup
jelas.
Pasal
58
Cukup
jelas.
Pasal
59
Yang
dimaksud dengan “seluruh rangkaian” adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan
koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah
nonkementerian terkait.
Pasal
60
Cukup
jelas.
Pasal
61
Cukup
jelas.
Pasal
62
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “menjamin tersedianya infrastruktur Industri” adalah memprioritaskan
program penyediaan infrastruktur bagi kegiatan Industri.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “kawasan peruntukan Industri” adalah bentangan lahan yang
diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan
tata guna tanah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
63
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Yang
dimaksud dengan “hal tertentu” adalah kondisi pada saat pihak swasta tidak
berminat atau belum mampu untuk membangun Kawasan Industri, sementara
Pemerintah perlu mempercepat industrialisasi di wilayah pusat pertumbuhan
Industri dengan mempertimbangkan geoekonomi, geopolitik dan geostrategis. Yang
dimaksud dengan “memprakarsai” adalah melakukan investasi langsung untuk
membangun kawasan Industri.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
64
Ayat
(1)
Data
Industri meliputi Data Industri pada tahap pembangunan dan Data Industri pada
tahap produksi/komersial. Data Industri pada tahap pembangunan antara lain
meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek pembangunan, aspek
teknis yang terkait dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta
aspek pengelolaan. Data Industri pada tahap produksi/komersial antara lain
meliputi legalitas perusahaan, aspek kegiatan Industri, aspek teknis, dan aspek
pengelolaan. Aspek pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak social masyarakat,
energi, sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di
bidang Industri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Penyampaian
Informasi Industri kepada Menteri termasuk hasil pelaksanaan pembangunan,
pengembangan, dan pembinaan Industri di daerah yang
bersangkutan.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
65
Ayat
(1)
Data
Kawasan Industri meliputi Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan dan Data
Kawasan Industri pada tahap komersial. Data Kawasan Industri pada tahap
pembangunan antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek
pembangunan, aspek teknis yang
terkait
dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta aspek pengelolaan. Data
Kawasan Industri pada tahap komersial antara lain meliputi legalitas perusahaan,
aspek kegiatan kawasan Industri, aspek teknis, dan aspek pengelolaan. Aspek
pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak social masyarakat, energi,
sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di bidang
Industri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
66 Huruf a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Kejadian
luar biasa dapat berupa pemogokan dan kecelakaan kerja yang bersifat masif,
pemindahan kepemilikan yang menyebabkan terjadinya pemusatan atau penguasaan
Industri oleh satu kelompok atau orang tertentu, individu atau asing.
Pasal
67
Cukup
jelas.
Pasal
68
Ayat
(1)
Sistem
Informasi Industri Nasional yang dikembangkan antara lain secara online melalui
media internet untuk memberikan kemudahan kepada pelaku usaha Industri dalam
menyampaikan data kegiatan usahanya dan instansi pembina Industri dan menteri
terkait dalam menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 69
Data
Industri dan/atau Data Kawasan Industri yang dilarang disampaikan atau
diumumkan adalah data individu Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan
Industri yang belum diolah.
Pasal
70
Cukup
jelas.
Pasal
71
Cukup
jelas.
Pasal
72
Ayat
(1)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Yang
dimaksud dengan “berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri
nasional” adalah memberikan kontribusi besar dalam perubahan struktur Industri
dan memperkuat perekonomian nasional.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
73
Cukup
jelas.
Pasal
74
Cukup
jelas.
Pasal
75
Cukup
jelas.
Pasal
76
Cukup
jelas.
Pasal
77
Huruf
a
Perumusan
kebijakan untuk pembangunan Industri menuju Industri Hijau ditujukan bagi
Perusahaan Industri baru, sedangkan pengembangan Industri menuju Industri Hijau
ditujukan bagi Perusahaan Industri yang telah berproduksi dan/atau akan
melakukan perluasan.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Huruf
c
Cukup
jelas.
Huruf
d
Cukup
jelas.
Pasal
78
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kelembagaan” adalah institusi yang ada di dalam kementerian maupun
di luar kementerian. Yang dimaksud dengan “peningkatan kemampuan” adalah
optimalisasi kemampuan perangkat lunak (software) dan perangkat keras
(hardware) yang mendukung pengembangan Industri Hijau termasuk sumber daya
manusia. Yang dimaksud dengan “promosi” adalah kegiatan untuk menyebarluaskan informasi
kepada masyarakat Industri dan konsumen untuk meningkatkan kepedulian dan
pengetahuan tentang manfaat Industri Hijau, serta untuk ikut berpartisipasi
dalam penerapan Industri Hijau dan mendorong penggunaan produk ramah lingkungan
(eco product), termasuk pemberian penghargaan.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Pasal
79
Cukup
jelas.
Pasal
80
Cukup
jelas.
Pasal
81
Cukup
jelas.
Pasal
82
Huruf
a
Yang
dimaksud dengan “membangun komitmen” adalah tekad untuk mewujudkan Industri
Hijau sebagai budaya kerja bagi seluruh tenaga kerja Industri.
Huruf b
Yang
dimaksud dengan “menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau” adalah
melakukan proses produksi melalui produksi bersih dan mengurangi, menggunakan
kembali, mengolah kembali, dan memulihkan, atau yang dikenal dengan istilah 4R
(reduce, reuse, recycle, recovery).
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan” adalah
Perusahaan Industri memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan
fungsi lingkungan hidup dengan melaksanakan kegiatan monitoring, evaluasi, dan
perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement).
Huruf
d
Yang
dimaksud dengan “teknologi ramah lingkungan” adalah teknologi yang hemat dalam
penggunaan Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air dalam proses produksi
serta meminimalkan limbah, termasuk optimalisasi diversifikasi energi.
Pasal
83
Cukup
jelas.
Pasal
84
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Huruf
a
Cukup
jelas.
Huruf
b
Usaha
patungan antara Pemerintah dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh
Pemerintah.
Huruf c
Yang
dimaksud dengan “pembatasan kepemilikan” adalah tidak diperbolehkannya
penanaman modal asing.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Ayat
(7)
Penetapan
jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara
kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional.
Ayat
(8)
Cukup
jelas.
Ayat
(9)
Cukup
jelas.
Pasal
85
Peningkatan
penggunaan produk dalam negeri dilakukan dalam rangka lebih menjamin
kemandirian dan stabilitas perekonomian nasional, serta meningkatkan
pemberdayaan masyarakat. Yang dimaksud dengan “produk dalam negeri” adalah
barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau
dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang
menggunakan sebagian tenaga kerja bangsa/warga negara Indonesia, yang prosesnya
menggunakan Bahan Baku/komponen dalam negeri dan/atau sebagian impor.
Pasal
86
Cukup
jelas.
Pasal
87
Cukup
jelas.
Pasal
88
Cukup
jelas.
Pasal
89
Cukup
jelas.
Pasal
90
Cukup
jelas.
Pasal
91
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “kerja sama internasional di bidang Industri” adalah kerja sama
yang dilakukan secara bilateral, regional, atau multilateral di bidang
Industri.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
92
Cukup
jelas.
Pasal
93
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Laporan
antara lain memuat peluang atau potensi kerja sama Industri, profil Industri
unggulan negara yang bersangkutan, serta perkembangan pelaksanaan kerja sama
internasional di bidang Industri.
Pasal
94
Cukup
jelas.
Pasal
95
Cukup
jelas.
Pasal
96
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Huruf
a
Kebijakan,
regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam Industri dalam negeri dapat
berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Huruf
b
Cukup
jelas.
Pasal
97
Cukup
jelas.
Pasal
98
Cukup
jelas.
Pasal
99
Cukup
jelas.
Pasal
100
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “penyelamatan” adalah tindakan atau kebijakan yang dilakukan
Pemerintah dalam memulihkan Industri dalam negeri yang mengalami kerugian
akibat pengaruh perubahan yang sangat dinamis (konjungtur) perekonomian dunia,
seperti gejolak naik turunnya kemajuan dan kemunduran ekonomi dunia yang
terjadi secara berganti-ganti, sehingga dapat berdampak sistemik terhadap
perekonomian nasional.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
www.bpkp.go.id
Pasal
101
Cukup
jelas.
Pasal
102
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai tanah dan bangunan, mesin
peralatan, sarana dan prasarana, tidak termasuk modal kerja.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
103
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan “Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya
bangsa” adalah Industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain produk,
teknik pembuatan, keterampilan, Bahan Baku, yang berbasis pada kearifan lokal
misalnya batik (pakaian tradisional), ukir-ukiran kayu dari Jepara dan
Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung asmat.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
104
Cukup
jelas.
Pasal
105
Cukup
jelas.
Pasal
106
Ayat
(1)
Yang
dimaksud dengan “Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri” adalah
Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Pasal
107
Cukup
jelas.
Pasal
108
Cukup
jelas.
Pasal
109
Cukup
jelas.
Pasal
110
Cukup
jelas.
Pasal
111
Cukup
jelas.
Pasal
112
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Perwakilan
dunia usaha paling sedikit mencakup wakil dari Kamar Dagang dan Industri dan
asosiasi Industri terkait.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal
113
Cukup
jelas.
Pasal
114
Cukup
jelas.
Pasal
115
Cukup
jelas.
Pasal
116
Cukup
jelas.
Pasal
117
Ayat
(1)
Cukup
jelas.
Ayat
(2)
Pengawasan
dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif
(surveillance), atau pemantauan (monitoring).
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Ayat
(5)
Cukup
jelas.
Ayat
(6)
Cukup
jelas.
Pasal 118
Cukup
jelas.
Pasal 119
Ayat
(1)
Sepanjang
menyangkut kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang ruang
lingkup dan tanggung jawabnya di bidang kepabeanan berwenang melakukan
penyidikan di bidang Perindustrian yang terkait SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib yang terjadi di
kawasan pabean dengan berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang
Perindustrian.
Ayat
(2)
Cukup
jelas.
Ayat
(3)
Cukup
jelas.
Ayat
(4)
Cukup
jelas.
Pasal 120
Cukup
jelas.
Pasal
121
Cukup
jelas.
Pasal
122
Cukup
jelas.
Pasal
123
Cukup
jelas.
Pasal
124
Cukup
jelas.
Pasal
125
Cukup
jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5492
Sumber:
www.bpkp.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar