Selasa, 24 Maret 2015

Pengetahuan Lingkungan

Definisi pengetahuan lingkungan
Lingkungan hidup biasa juga disebut dengan lingkungan hidup manusia (human environment) atau dalam sehari-hari juga cukup disebut dengan "lingkungan" saja. Unsur-unsur lingkungan hidup itu sendiri biasa nya terdiri dari: manusia, hewan, tumbuhan, dll. Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari kehidupan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari kehidupan manusia. Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan Millieu, sedangkan dalam bahasa Perancis disebut dengan I'environment.

Berikut ini adalah pengertian dan definisi lingkungan hidup menurut para ahli:

# PROF DR. IR. OTTO SOEMARWOTO
Lingkungan hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati  yang mempengaruhi kehidupan kita

# S.J MCNAUGHTON & LARRY L. WOLF
Lingkungan hidup adalah semua faktor ekstrenal yang bersifat biologis dan fisika yang langsung mempengarui kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi organisme

# MICHAEL ALLABY
Lingkungan hidup diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism.

# PROF. DR. ST. MUNADJAT DANUSAPUTRO, SH
Lingkungan hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.

# SRI HAYATI
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan mahluk hidup. termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya

# JONNY PURBA
Lingkungan hidup adalah wilayah yang merupakan tempat berlangsungnya bermacam-macam interaksi sosial antara berbagai kelompok beserta pranatanya dengan simbol dan nilai
Sumber:

Studi kasus mengenai lingkungan dan penanggulangannya
Pekanbaru,  (Antarariau.com) -  Pengamat Hukum Internasional Universitas Riau (UNRI), Maria Maya Lestari SH, MSc, MH berpendapat kasus kabut asap di Riau bukan termasuk bencana alam melainkan pencemaran udara akibat ulah manusia.

"Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya," kata dia di Pekanbaru, Rabu.

Ia mengatakan, itu terkait kasus asap saat ini di Riau makin parah menyusul seluas 11.128 hektare lahan hutan dan perkebunan serta semak belukar di Provinsi Riau telah terbakar sejak empat pekan terakhir, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sedangkan satelit NOAA 18 milik Amerika yang dioperasikan Singapura pada Selasa (4/3) mendeteksi 48 titik panas (hotspot) di daratan Sumatera, 27 titik --jumlah ini terus meningkat-- di wilayah Provinsi Riau.

Menurut Maria, makin bertambahnya titik api di Riau membuktikan penanganannya sangat lambat disertai alasan klise tidak ada dana dan kemampuan mematikan titik-titik api yang ada.

Padahal  PP nomor 41 tahun 1999, kata dia,  menjelaskan bahwa sumber pencemar yang dimaksud adalah sumber pencemar adalah setiap usaha dan atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

"Oleh karena itu, kondisi asap saat ini lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pencemaran udara dimana kadar pencemaran berupa partikel debu telah melebihi baku mutu dari lingkungan udara ambien atau udara yang bergerak bebas di alam," katanya.

Ia memandang bahwa pendefinisian tentang kasus asap di Riau penting, karena bagaimana penegakan hukum terhadap asap akan dapat berjalan dengan baik dan tepat, bila dari penyebutan asap sebagai sebuah bencana hanya akan membuat perubahan paradigma bahwa asap terjadi karena alam itu sendiri yang marah seperti gempa bumi, gunung meletus ataupun tsunami.

Kasus asap saat ini adalah merupakan tindakan perusakan lingkungan terutama pembakaran lahan gambut yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap udara.

"Bagi siapa saja yang melakukan, turut serta ataupun penanggungjawab kegiatan atas pencemaran udara itu akan dapat dikejar oleh aparat penegak hukum dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.

Ia menambahkan bahwa asap di Provinsi Riau dan kota-kota lainnya di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang. Hanya saja kasus 1997 merupakan gejala kebakaran lahan yang menimpa seluruh dunia akibat gejala el-nino menimpa negara tropis.     

Namun demikian, kondisi kebakaran lahan selama lebih dari lima tahun terakhir bencana asap di Indonesia setiap musim kemarau merupakan dampak dari tindakan pembukaan lahan gambut (land clearing) mengingat pascapembakaran lahan sudah dapat dipastikan "berbanding lurus" dengan meningkatnya luas lahan sawit di lahan sisa pembakaran.

Merujuk dari dua kasus di atas yang menjadi pertanyaan adalah termasuk kemanakah bencana asap yang terjadi selama lima tahun terakhir di negara ini?.

Secara Yuridis, penanggulangan bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007, yang membagi bencana dapat dibagi atas tiga kategori yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

Dari kasus bencana asap yang terjadi di tahun 1997 dapat dikategorikan bencana alam karena bila melihat dari sudut pandang sebab dan akibatnya adalah merupakan bencana alam karena disebabkan oleh gejala alam itu sendiri (el-nino/udara kering dan panas) sehingga menyebabkan hutan-hutan dan lahan gambut mudah tersulut api dari gesekan dahan-dahan kering yang dapat menimbulkan percikan api.

Sehingga wajar seluruh negara terutama negara-negara ASEAN, sampai dengan level nasional dan daerah turut serta melakukan penanggulangan.

"Namun untuk kasus kedua, kasus asap yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar, disinilah terjadi kontradiktif makna filosofis dan yuridis dari sebuah bencana. Kasus asap di Riau akibat ulah manusia yang membakar lahan gambut," katanya.

Penanggualangannya
menurut saya melakukan penanaman pohon pada lahan yang sudah terbakar dengan merangkul masyarakat sekitar dan mensosialisasikan bahaya pembakaran lahan karena memberikan dampak yang cukup besar. Dampak pada pembakaran lahan juga menimbulkan hutan menjadi gundul, dan pada masyarakat menyebabkan penyakit pada pernapasan karena asap yang ditimbulkan. Pada pemerintah memberikan efek jera pada masyarakat yang masih nakal. Pada polisi hutan menempatkan pos yang lebih banyak sehingga memperkecil pembakaran lahan oleh masyarakat sekitar. Pada lahan yang masih terbakar melakukan hujan buatan untuk meredakan kebakaran yang masih berlangsung.

Studi kasus mengenai lingkungan sesuai perundang undangan
Pekanbaru,  (Antarariau.com) -  Pengamat Hukum Internasional Universitas Riau (UNRI), Maria Maya Lestari SH, MSc, MH berpendapat kasus kabut asap di Riau bukan termasuk bencana alam melainkan pencemaran udara akibat ulah manusia.

"Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya," kata dia di Pekanbaru, Rabu.

Ia mengatakan, itu terkait kasus asap saat ini di Riau makin parah menyusul seluas 11.128 hektare lahan hutan dan perkebunan serta semak belukar di Provinsi Riau telah terbakar sejak empat pekan terakhir, menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Sedangkan satelit NOAA 18 milik Amerika yang dioperasikan Singapura pada Selasa (4/3) mendeteksi 48 titik panas (hotspot) di daratan Sumatera, 27 titik --jumlah ini terus meningkat-- di wilayah Provinsi Riau.

Menurut Maria, makin bertambahnya titik api di Riau membuktikan penanganannya sangat lambat disertai alasan klise tidak ada dana dan kemampuan mematikan titik-titik api yang ada.

Padahal  PP nomor 41 tahun 1999, kata dia,  menjelaskan bahwa sumber pencemar yang dimaksud adalah sumber pencemar adalah setiap usaha dan atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

"Oleh karena itu, kondisi asap saat ini lebih tepat dikatakan sebagai sebuah pencemaran udara dimana kadar pencemaran berupa partikel debu telah melebihi baku mutu dari lingkungan udara ambien atau udara yang bergerak bebas di alam," katanya.

Ia memandang bahwa pendefinisian tentang kasus asap di Riau penting, karena bagaimana penegakan hukum terhadap asap akan dapat berjalan dengan baik dan tepat, bila dari penyebutan asap sebagai sebuah bencana hanya akan membuat perubahan paradigma bahwa asap terjadi karena alam itu sendiri yang marah seperti gempa bumi, gunung meletus ataupun tsunami.

Kasus asap saat ini adalah merupakan tindakan perusakan lingkungan terutama pembakaran lahan gambut yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap udara.

"Bagi siapa saja yang melakukan, turut serta ataupun penanggungjawab kegiatan atas pencemaran udara itu akan dapat dikejar oleh aparat penegak hukum dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.

Ia menambahkan bahwa asap di Provinsi Riau dan kota-kota lainnya di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang. Hanya saja kasus 1997 merupakan gejala kebakaran lahan yang menimpa seluruh dunia akibat gejala el-nino menimpa negara tropis.     

Namun demikian, kondisi kebakaran lahan selama lebih dari lima tahun terakhir bencana asap di Indonesia setiap musim kemarau merupakan dampak dari tindakan pembukaan lahan gambut (land clearing) mengingat pascapembakaran lahan sudah dapat dipastikan "berbanding lurus" dengan meningkatnya luas lahan sawit di lahan sisa pembakaran.

Merujuk dari dua kasus di atas yang menjadi pertanyaan adalah termasuk kemanakah bencana asap yang terjadi selama lima tahun terakhir di negara ini?.

Secara Yuridis, penanggulangan bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2007, yang membagi bencana dapat dibagi atas tiga kategori yaitu bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

Dari kasus bencana asap yang terjadi di tahun 1997 dapat dikategorikan bencana alam karena bila melihat dari sudut pandang sebab dan akibatnya adalah merupakan bencana alam karena disebabkan oleh gejala alam itu sendiri (el-nino/udara kering dan panas) sehingga menyebabkan hutan-hutan dan lahan gambut mudah tersulut api dari gesekan dahan-dahan kering yang dapat menimbulkan percikan api.

Sehingga wajar seluruh negara terutama negara-negara ASEAN, sampai dengan level nasional dan daerah turut serta melakukan penanggulangan.

"Namun untuk kasus kedua, kasus asap yang terjadi di Indonesia merupakan dampak dari pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar, disinilah terjadi kontradiktif makna filosofis dan yuridis dari sebuah bencana. Kasus asap di Riau akibat ulah manusia yang membakar lahan gambut," katanya.

Pasal yang bersangkutan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
1.             Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2.             kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3.             Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
4.             Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
5.             Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
6.             Kepastian dalam merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
7.             Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
8.             Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
9.             Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
10.          Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan hidup.
Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang dimaksud Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam undang-undang tersebut meliputi:
1.             Aspek Perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana  Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
2.             Aspek Pemanfaatan Sumber daya Alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam Undang-undang ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
3.             Aspek pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
4.             Dimasukkan pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), UKL-UPL (Upaya Kelola Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan), perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/ atau perkembangan ilmu pengetahuan.
5.             Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam, pencadangan sumber daya alam, dan/ atau pelestarian fungsi atmosfer.
6.             Aspek pengawasan dan penegakan hukum, meliputi:
             Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
             Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup  dibandingkan dengan undang-undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana  dibagi dalam dalam delik materil maupun delik materil.
Cuma dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115).  Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana.  Atau dengan kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil  dan delik formil dapat didefensikan sebagai berikut:
1.             Dellik materil  (generic crime) adalah perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau  perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
2.             Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:
Pasal  105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan  denda paling sedikit  Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 107
Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga belas tahun dan  denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp. 10.000.000.000.

Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan  juga dapat dilihat dalam beberapa pasal seperti:
Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun  dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.10.000.000.000.
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan paling banyak Rp. 3.000.000.000
Hal yang membedakan dengan UUPLH dan UUPPLH adalah pada sanksi pidana dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi standar miliaran rupiah. Dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur masalah pertanggujawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat dikenakan kepada yang memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama (vide: Pasal 116 ayat 2). Pengaturan yang berbeda juga dapat diamati pada peran kejaksaan yang dapat berkoordinasi dengan  instansi yang bertanggung jawab dibidang perlindungan hidup untuk melaksanakan eksekusi dalam melaksanakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib (vide: Pasal 119 dan Pasal 120)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar