Definisi pengetahuan lingkungan
Lingkungan
hidup biasa juga disebut dengan lingkungan hidup manusia (human environment)
atau dalam sehari-hari juga cukup disebut dengan "lingkungan" saja.
Unsur-unsur lingkungan hidup itu sendiri biasa nya terdiri dari: manusia,
hewan, tumbuhan, dll. Lingkungan hidup merupakan bagian yang mutlak dari
kehidupan manusia. Dengan kata lain, lingkungan hidup tidak terlepas dari
kehidupan manusia. Istilah lingkungan hidup, dalam bahasa Inggris disebut
dengan environment, dalam bahasa Belanda disebut dengan Millieu, sedangkan
dalam bahasa Perancis disebut dengan I'environment.
Berikut
ini adalah pengertian dan definisi lingkungan hidup menurut para ahli:
#
PROF DR. IR. OTTO SOEMARWOTO
Lingkungan
hidup adalah jumlah semua benda dan kondisi yang ada dalam ruang yang kita
tempati yang mempengaruhi kehidupan kita
#
S.J MCNAUGHTON & LARRY L. WOLF
Lingkungan
hidup adalah semua faktor ekstrenal yang bersifat biologis dan fisika yang
langsung mempengarui kehidupan, pertumbuhan, perkembangan dan reproduksi
organisme
#
MICHAEL ALLABY
Lingkungan
hidup diartikan sebagai: the physical, chemical and biotic condition
surrounding and organism.
#
PROF. DR. ST. MUNADJAT DANUSAPUTRO, SH
Lingkungan
hidup sebagai semua benda dan kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah
perbuatannya, yang terdapat dalam ruang tempat manusia berada dan mempengaruhi
hidup serta kesejahteraan manusia dan jasad hidup lainnya.
#
SRI HAYATI
Lingkungan
hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda dan keadaan mahluk hidup.
termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya
#
JONNY PURBA
Lingkungan
hidup adalah wilayah yang merupakan tempat berlangsungnya bermacam-macam interaksi
sosial antara berbagai kelompok beserta pranatanya dengan simbol dan nilai
Sumber:
Studi
kasus mengenai lingkungan dan penanggulangannya
Pekanbaru, (Antarariau.com)
- Pengamat Hukum Internasional
Universitas Riau (UNRI), Maria Maya Lestari SH, MSc, MH berpendapat kasus kabut
asap di Riau bukan termasuk bencana alam melainkan pencemaran udara akibat ulah
manusia.
"Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya," kata dia di Pekanbaru, Rabu.
Ia mengatakan, itu terkait kasus asap saat ini di Riau makin parah
menyusul seluas 11.128 hektare lahan hutan dan perkebunan serta semak belukar
di Provinsi Riau telah terbakar sejak empat pekan terakhir, menurut data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sedangkan satelit NOAA 18 milik Amerika yang dioperasikan Singapura pada
Selasa (4/3) mendeteksi 48 titik panas (hotspot) di daratan Sumatera, 27 titik
--jumlah ini terus meningkat-- di wilayah Provinsi Riau.
Menurut Maria, makin bertambahnya titik api di Riau membuktikan
penanganannya sangat lambat disertai alasan klise tidak ada dana dan kemampuan
mematikan titik-titik api yang ada.
Padahal PP nomor 41 tahun 1999,
kata dia, menjelaskan bahwa sumber
pencemar yang dimaksud adalah sumber pencemar adalah setiap usaha dan atau
kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
"Oleh karena itu, kondisi asap saat ini lebih tepat dikatakan
sebagai sebuah pencemaran udara dimana kadar pencemaran berupa partikel debu
telah melebihi baku mutu dari lingkungan udara ambien atau udara yang bergerak
bebas di alam," katanya.
Ia memandang bahwa pendefinisian tentang kasus asap di Riau penting,
karena bagaimana penegakan hukum terhadap asap akan dapat berjalan dengan baik
dan tepat, bila dari penyebutan asap sebagai sebuah bencana hanya akan membuat
perubahan paradigma bahwa asap terjadi karena alam itu sendiri yang marah
seperti gempa bumi, gunung meletus ataupun tsunami.
Kasus asap saat ini adalah merupakan tindakan perusakan lingkungan
terutama pembakaran lahan gambut yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap
udara.
"Bagi siapa saja yang melakukan, turut serta ataupun
penanggungjawab kegiatan atas pencemaran udara itu akan dapat dikejar oleh
aparat penegak hukum dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.
Ia menambahkan bahwa asap di Provinsi Riau dan kota-kota lainnya di
Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang. Hanya saja kasus 1997
merupakan gejala kebakaran lahan yang menimpa seluruh dunia akibat gejala
el-nino menimpa negara tropis.
Namun demikian, kondisi kebakaran lahan selama lebih dari lima tahun
terakhir bencana asap di Indonesia setiap musim kemarau merupakan dampak dari
tindakan pembukaan lahan gambut (land clearing) mengingat pascapembakaran lahan
sudah dapat dipastikan "berbanding lurus" dengan meningkatnya luas
lahan sawit di lahan sisa pembakaran.
Merujuk dari dua kasus di atas yang menjadi pertanyaan adalah termasuk
kemanakah bencana asap yang terjadi selama lima tahun terakhir di negara ini?.
Secara Yuridis, penanggulangan bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun
2007, yang membagi bencana dapat dibagi atas tiga kategori yaitu bencana alam,
bencana non alam, dan bencana sosial.
Dari kasus bencana asap yang terjadi di tahun 1997 dapat dikategorikan
bencana alam karena bila melihat dari sudut pandang sebab dan akibatnya adalah
merupakan bencana alam karena disebabkan oleh gejala alam itu sendiri
(el-nino/udara kering dan panas) sehingga menyebabkan hutan-hutan dan lahan
gambut mudah tersulut api dari gesekan dahan-dahan kering yang dapat
menimbulkan percikan api.
Sehingga wajar seluruh negara terutama negara-negara ASEAN, sampai
dengan level nasional dan daerah turut serta melakukan penanggulangan.
"Namun untuk kasus kedua, kasus asap yang terjadi di Indonesia
merupakan dampak dari pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar, disinilah
terjadi kontradiktif makna filosofis dan yuridis dari sebuah bencana. Kasus
asap di Riau akibat ulah manusia yang membakar lahan gambut," katanya.
Penanggualangannya
menurut saya melakukan penanaman pohon pada lahan yang sudah terbakar
dengan merangkul masyarakat sekitar dan mensosialisasikan bahaya pembakaran
lahan karena memberikan dampak yang cukup besar. Dampak pada pembakaran lahan
juga menimbulkan hutan menjadi gundul, dan pada masyarakat menyebabkan penyakit
pada pernapasan karena asap yang ditimbulkan. Pada pemerintah memberikan efek
jera pada masyarakat yang masih nakal. Pada polisi hutan menempatkan pos yang
lebih banyak sehingga memperkecil pembakaran lahan oleh masyarakat sekitar.
Pada lahan yang masih terbakar melakukan hujan buatan untuk meredakan kebakaran
yang masih berlangsung.
Studi kasus mengenai lingkungan sesuai
perundang undangan
Pekanbaru, (Antarariau.com)
- Pengamat Hukum Internasional Universitas
Riau (UNRI), Maria Maya Lestari SH, MSc, MH berpendapat kasus kabut asap di
Riau bukan termasuk bencana alam melainkan pencemaran udara akibat ulah
manusia.
"Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi,
atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya," kata dia di Pekanbaru, Rabu.
Ia mengatakan, itu terkait kasus asap saat ini di Riau makin parah menyusul
seluas 11.128 hektare lahan hutan dan perkebunan serta semak belukar di
Provinsi Riau telah terbakar sejak empat pekan terakhir, menurut data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sedangkan satelit NOAA 18 milik Amerika yang dioperasikan Singapura pada
Selasa (4/3) mendeteksi 48 titik panas (hotspot) di daratan Sumatera, 27 titik
--jumlah ini terus meningkat-- di wilayah Provinsi Riau.
Menurut Maria, makin bertambahnya titik api di Riau membuktikan
penanganannya sangat lambat disertai alasan klise tidak ada dana dan kemampuan
mematikan titik-titik api yang ada.
Padahal PP nomor 41 tahun 1999,
kata dia, menjelaskan bahwa sumber
pencemar yang dimaksud adalah sumber pencemar adalah setiap usaha dan atau
kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara yang menyebabkan udara tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
"Oleh karena itu, kondisi asap saat ini lebih tepat dikatakan
sebagai sebuah pencemaran udara dimana kadar pencemaran berupa partikel debu
telah melebihi baku mutu dari lingkungan udara ambien atau udara yang bergerak
bebas di alam," katanya.
Ia memandang bahwa pendefinisian tentang kasus asap di Riau penting,
karena bagaimana penegakan hukum terhadap asap akan dapat berjalan dengan baik
dan tepat, bila dari penyebutan asap sebagai sebuah bencana hanya akan membuat
perubahan paradigma bahwa asap terjadi karena alam itu sendiri yang marah
seperti gempa bumi, gunung meletus ataupun tsunami.
Kasus asap saat ini adalah merupakan tindakan perusakan lingkungan
terutama pembakaran lahan gambut yang menimbulkan dampak pencemaran terhadap
udara.
"Bagi siapa saja yang melakukan, turut serta ataupun
penanggungjawab kegiatan atas pencemaran udara itu akan dapat dikejar oleh
aparat penegak hukum dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," katanya.
Ia menambahkan bahwa asap di Provinsi Riau dan kota-kota lainnya di
Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1997 sampai sekarang. Hanya saja kasus 1997
merupakan gejala kebakaran lahan yang menimpa seluruh dunia akibat gejala
el-nino menimpa negara tropis.
Namun demikian, kondisi kebakaran lahan selama lebih dari lima tahun
terakhir bencana asap di Indonesia setiap musim kemarau merupakan dampak dari
tindakan pembukaan lahan gambut (land clearing) mengingat pascapembakaran lahan
sudah dapat dipastikan "berbanding lurus" dengan meningkatnya luas
lahan sawit di lahan sisa pembakaran.
Merujuk dari dua kasus di atas yang menjadi pertanyaan adalah termasuk
kemanakah bencana asap yang terjadi selama lima tahun terakhir di negara ini?.
Secara Yuridis, penanggulangan bencana diatur dalam UU Nomor 24 tahun
2007, yang membagi bencana dapat dibagi atas tiga kategori yaitu bencana alam,
bencana non alam, dan bencana sosial.
Dari kasus bencana asap yang terjadi di tahun 1997 dapat dikategorikan
bencana alam karena bila melihat dari sudut pandang sebab dan akibatnya adalah
merupakan bencana alam karena disebabkan oleh gejala alam itu sendiri
(el-nino/udara kering dan panas) sehingga menyebabkan hutan-hutan dan lahan
gambut mudah tersulut api dari gesekan dahan-dahan kering yang dapat
menimbulkan percikan api.
Sehingga wajar seluruh negara terutama negara-negara ASEAN, sampai
dengan level nasional dan daerah turut serta melakukan penanggulangan.
"Namun untuk kasus kedua, kasus asap yang terjadi di Indonesia
merupakan dampak dari pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar, disinilah
terjadi kontradiktif makna filosofis dan yuridis dari sebuah bencana. Kasus
asap di Riau akibat ulah manusia yang membakar lahan gambut," katanya.
Pasal yang bersangkutan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17 BAB dan 127 Pasal
yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup (selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disingkat UUPLH) dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan
yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang
baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan
pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam UU No. 32 Tahun 2009
antara lain:
1. Keutuhan unsur-unsur
pengelolaan lingkungan hidup;
2. kejelasan kewenangan
antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya
pengendalian lingkungan hidup;
4. Penguatan instrumen
pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan
perizinan sebagai instrumen pengendalian;
5. Pendayagunaan
pendekatan ekosistem;
6. Kepastian dalam
merespon dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
7. Penguatan demokrasi
lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta
penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
8. Penegakan hukum
perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
9. Penguatan kelembagaan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
10. Penguatan kewenangan
pejabat pengawas lingkungan hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan
hidup.
Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang
sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang
dimaksud Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam undang-undang
tersebut meliputi:
1. Aspek Perencanaan
yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah
ekoregion dan penyusunan RPPLH (Rencana
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
2. Aspek Pemanfaatan
Sumber daya Alam yang dilakukan berdasarkan RPPLH. Tetapi dalam Undang-undang
ini telah diatur bahwa jika suatu daerah belum menyusun RPPLH maka pemanfaatan
sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.
3. Aspek pengendalian
terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup yang meliputi
pencegahan, penanggulangan dan pemulihan.
4. Dimasukkan
pengaturan beberapa instrumen pengendalian baru, antara lain: KLHS (Kajian
Lingkungan Hidup Strategis), tata ruang, kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup, AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup), UKL-UPL (Upaya Kelola
Lingkungan – Upaya Pemantauan Lingkungan), perizinan, instrumen ekonomi
lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,
anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis resiko lingkungan hidup, audit
lingkungan hidup, dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/ atau
perkembangan ilmu pengetahuan.
5. Pemeliharaan
lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya konservasi sumber daya alam,
pencadangan sumber daya alam, dan/ atau pelestarian fungsi atmosfer.
6. Aspek pengawasan dan
penegakan hukum, meliputi:
Pengaturan sanksi
yang tegas (pidana dan perdata) bagi pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar
AMDAL (termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau UKL-UPL),
pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa genetikan tanpa hak, pengelola
limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping tanpa izin,
memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan pembakaran hutan,
Pengaturan tentang
pajabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil
(PPNS), dan menjadikannya sebagai jabatan fungsional.
Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak jauh berbeda bagaimana
bentuk-bentuk tindak pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup dibandingkan dengan undang-undang Nomor 23
tahun 1999 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana dibagi dalam dalam delik materil maupun delik
materil.
Cuma dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 pengaturan pasal lebih
banyak pasal sanksi pidananya bila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya ada enam pasal yang
menguraikan masalah sanksi pidana dalam kaitannya dengan tindak pidana
lingkungan (Pasal 41 sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan Pasal 115). Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal
tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan dalam UUPPLH lebih
terperinci jenis tindak pidana lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu
lingkungan hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun (selanjutnya disingkat B3), masalah pembakaran lahan, dan
penyusunan AMDAL tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau dengan kata lain pengaturan sanksi
pidana secara terperinci dalam beberapa pasal.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi dalam delik
formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin (2009: 122) delik materil dan delik formil dapat didefensikan sebagai
berikut:
1. Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan melawan
hukum yang menyebabkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu memerlukan pembuktian
pelanggaran aturan-aturan hukum administrasi seperti izin.
2. Delik formil
(specific crime) adalah perbuatan yang melanggar hukum terhadap aturan-aturan
hukum administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik formil tidak
diperlukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup seperti delik materil,
tetapi cukup dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.
Berikut ini dikutip beberapa delik materil yang ditegaskan dalam UUPPLH
yang disesuaikan dengan beberapa kejahatan yenga berkaitan dengan standar baku
kebiasaan terjadinya pencemaran lingkungan yaitu:
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara kesatua
republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat 1 huruf c dipidana
dengan penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua belas tahun
dan denda paling sedikit Rp
4.000.000.000 dan paling banyak Rp. 12.000.000.000.
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 kedalam wilayah Negara kesatuan
republik Indonesia sebagaimana dimaksud Pasal 69 ayat 1 huruf d dipidana dengan
penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan paling banyak Rp.
15.000.000.000.
Pasal 107
Setiap orag yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pasal 69 ayat 1 huruf b dipidana dengan pidana penjara
paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 dan
paling banyak Rp. 15.000.000.000.
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 69 ayat 1 huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama tiga belas tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000 dan paling banyak Rp.
10.000.000.000.
Sementara, yang termasuk dalam delik formil, sebagai tindak pidana yang
harus didasarkan pada persyaratan administratif dari perusahaan atau individu
itu bertindak dan patut diduga melakukan tindak pidana terhadap lingkungan juga dapat dilihat dalam beberapa pasal
seperti:
Pasal 98
Setiap orang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambient, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat tiga tahun dan paling lama sepuluh tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000
dan paling banyak Rp.10.000.000.000.
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud Pasal 59 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu
tahun dan paling lama tiga tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 dan
paling banyak Rp. 3.000.000.000
Hal yang membedakan dengan UUPLH dan UUPPLH adalah pada sanksi pidana
dendanya yang bukan lagi dalam hitungan jutaan rupiah tetapi dinaikkan menjadi
standar miliaran rupiah. Dalam undang-undang yang baru tersebut, juga diatur
masalah pertanggujawaban pidana bagi korporasi, yang selanjutnya dapat
dikenakan kepada yang memerintah sehingga terwujud tindak pidana pencemaran
lingkungan, tanpa memerhatikan terjadinya tindak pidana itu secara bersama-sama
(vide: Pasal 116 ayat 2). Pengaturan yang berbeda juga dapat diamati pada peran
kejaksaan yang dapat berkoordinasi dengan
instansi yang bertanggung jawab dibidang perlindungan hidup untuk
melaksanakan eksekusi dalam melaksanakan pidana tambahan atau tindakan tata
tertib (vide: Pasal 119 dan Pasal 120)