Jumat, 20 Juni 2014

perundang-undangan tentang industrian



                            PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PERINDUSTRIAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merdeka, bersatu, dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilaksanakan pembangunan nasional berdasar atas demokrasi ekonomi;

b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh;

c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan struktur Industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sudah tidak sesuai dengan perubahan paradigma pembangunan industri sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perindustrian; Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi
dalam rangka Demokrasi Ekonomi;

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERINDUSTRIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri.
2. Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
3. Industri Hijau adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan
pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat.
4. Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara.
5. Bahan Baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai
ekonomi yang lebih tinggi.
6. Jasa Industri adalah usaha jasa yang terkait dengan kegiatan Industri.
7. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
8. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
9. Perusahaan Industri adalah Setiap Orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.
10. Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.
11. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri.
12. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun dan perekayasaan, metode, dan/atau system yang diterapkan dalam kegiatan Industri.
13. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri.
14. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan Industri.
15. Informasi Industri adalah hasil pengolahan Data Industri dan Data Kawasan Industri ke dalam bentuk tabel, grafik, kesimpulan, atau narasi analisis yang memiliki arti atau makna tertentu yang bermanfaat bagi penggunanya.
16. Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau
Informasi Industri.
17. Standar Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SNI adalah standar yang ditetapkan oleh lembaga yang menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standardisasi.
18. Standardisasi adalah proses merumuskan, menetapkan, menerapkan, memelihara, memberlakukan, dan mengawasi standar bidang Industri yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsure penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian.
Pasal 2
Perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas:
a. kepentingan nasional;
b. demokrasi ekonomi;
c. kepastian berusaha;
d. pemerataan persebaran;
e. persaingan usaha yang sehat; dan
f. keterkaitan Industri.

Pasal 3
Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan:
a. mewujudkan Industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional;
b. mewujudkan kedalaman dan kekuatan struktur Industri;
c. mewujudkan Industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta Industri Hijau;
d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;
e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja;
f. mewujudkan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan
g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan

Pasal 4
Lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian;
b. Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional;
c. Kebijakan Industri Nasional;
d. perwilayahan Industri;
e. pembangunan sumber daya Industri;
f. pembangunan sarana dan prasarana Industri;
g. pemberdayaan Industri;
h. tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri;
i. perizinan, penanaman modal bidang Industri, dan fasilitas; j. Komite Industri Nasional;
j. peran serta masyarakat; dan
k. pengawasan dan pengendalian.

BAB II
PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG PERINDUSTRIAN
Pasal 5
(1) Presiden berwenang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Menteri melakukan pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Perindustrian.

Pasal 6
(1) Kewenangan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu dilaksanakan oleh menteri terkait dengan berkoordinasi dengan Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

BAB III
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan Perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, disusun Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional.
(2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
(3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan Industri.
(4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun\ untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun.
Pasal 9
(1) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun dengan paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya Industri;
b. budaya Industri dan kearifan lokal yang tumbuh dimasyarakat;
c. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
d. perkembangan Industri dan bisnis, baik nasional maupun internasional;
e. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional; dan
f. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana TataRuang Wilayah Provinsi, dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.
(2) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional paling sedikit meliputi:
a. visi, misi, dan strategi pembangunan Industri;
b. sasaran dan tahapan capaian pembangunan Industri;
c. bangun Industri nasional;
d. pembangunan sumber daya Industri;
e. pembangunan sarana dan prasarana Industri;
f. pemberdayaan Industri; dan
g. perwilayahan Industri.
(3) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional disusun
oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan terkait.
(4) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
dilaksanakan melalui Kebijakan Industri Nasional.
(5) Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
(1) Setiap gubernur menyusun Rencana Pembangunan
Industri Provinsi.
(2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu
kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan
paling sedikit memperhatikan:
www.bpkp.go.id
a. potensi sumber daya Industri daerah;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan
pembangunan Industri di kabupaten/kota serta
kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung
lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan
dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan
Industri Kabupaten/Kota.
(2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
dengan mengacu pada Rencana Induk Pembangunan
Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun
dengan paling sedikit memperhatikan:
a. potensi sumber daya Industri daerah;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan
c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial
ekonomi serta daya dukung lingkungan.
(4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL
Pasal 12
www.bpkp.go.id
(1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan
tindakan untuk melaksanakan Rencana Induk
Pembangunan Industri Nasional.
(2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi:
a. sasaran pembangunan Industri;
b. fokus pengembangan Industri;
c. tahapan capaian pembangunan Industri;
d. pengembangan sumber daya Industri;
e. pengembangan sarana dan prasarana;
f. pengembangan perwilayahan Industri; dan
g. fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun.
(4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri
berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan terkait.
(5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 13
(1) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 dijabarkan ke dalam Rencana Kerja
Pembangunan Industri.
(2) Rencana Kerja Pembangunan Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 1
(satu) tahun.
(3) Rencana Kerja Pembangunan Industri disusun oleh
Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan
mempertimbangkan masukan dari pemangku
kepentingan terkait.
(4) Rencana Kerja Pembangunan Industri ditetapkan oleh
Menteri.

BAB VPERWILAYAHAN INDUSTRI
Pasal 14
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri.
(2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah;
b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional;
c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; dan
d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.
(3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui:
a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri;
b. pengembangan kawasan peruntukan Industri;
c. pembangunan Kawasan Industri; dan
d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI PEMBANGUNAN SUMBER DAYA INDUSTRI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 15
Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
a. pembangunan sumber daya manusia;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. pengembangan dan pemanfaatan Teknologi Industri;
d. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi; dan
e. penyediaan sumber pembiayaan.

Bagian Kedua Pembangunan Sumber Daya Manusia
Pasal 16
(1) Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan
untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.
(2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.
(3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. wirausaha Industri;
b. tenaga kerja Industri;
c. pembina Industri; dan
d. konsultan Industri.
Pasal 17
(1) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a dilakukan untuk menghasilkan wirausaha yang berkarakter dan bermental kewirausahaan serta mempunyai kompetensi sesuai dengan bidang usahanya meliputi:
a. kompetensi teknis;
b. kompetensi manajerial; dan
c. kreativitas dan inovasi.
(2) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan;
b. inkubator Industri; dan
c. kemitraan.
(3) Pembangunan wirausaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap calon wirausaha Industri dan wirausaha Industri yang telah menjalankan kegiatan usahanya.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal; atau
c. lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 18
(1) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf b dilakukan untuk menghasilkan tenaga kerja Industri yang mempunyai kompetensi kerja di bidang Industri sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia meliputi:
a. kompetensi teknis; dan
b. kompetensi manajerial.
 (2) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan; dan
b. pemagangan.
(3) Pembangunan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap tenaga kerja dan calon tenaga kerja.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan oleh:
a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal;
c. lembaga penelitian dan pengembangan yang
terakreditasi; atau d. Perusahaan Industri.
Pasal 19
(1) Tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terdiri atas:
a. tenaga teknis; dan
b. tenaga manajerial.
(2) Tenaga teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memiliki:
a. kompetensi teknis sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan
b. pengetahuan manajerial.
(3) Tenaga manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memiliki:
a. kompetensi manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri; dan
b. pengetahuan teknis.
Pasal 20
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di  wilayah pusat pertumbuhan Industri.
Pasal 21
(1) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf c dilakukan untuk menghasilkan pembina Industri yang kompeten agar mampu berperan dalam pemberdayaan Industri yang meliputi:
a. kompetensi teknis; dan
b. kompetensi manajerial.
(2) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
a. pendidikan dan pelatihan; dan/atau
b. pemagangan.
(3) Pembangunan pembina Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aparatur pemerintah di pusat dan di daerah.
(4) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. lembaga pendidikan formal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. lembaga pendidikan nonformal;
c. lembaga penelitian dan pengembangan yang terakreditasi; atau
d. Perusahaan Industri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 22
Pembina Industri dapat bermitra dengan asosiasi Industri dalam melakukan pembinaan dan pengembangan Industri.
Pasal 23
(1) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf d merupakan tenaga ahli yang berperan untuk membantu, memberi saran, dan menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi pelaku Industri dan Pembina Industri.
(2) Konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memiliki keterampilan teknis, administratif, dan manajerial sesuai dengan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri.
(3) Konsultan Industri asing yang dipekerjakan di Indonesia harus memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri.
Pasal 24
(1) Dalam keadaan tertentu Menteri dapat menyediakan konsultan Industri yang kompeten.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan konsultan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 25
(1) Menteri menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri.
(2) Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atas usul Menteri.
 (3) Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima usulan Menteri.
(4) Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan tidak ditetapkan, Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan berlaku oleh Menteri sampai dengan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib.
(6) Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PerusahaanIndustri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
(7) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(8) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Untuk memenuhi ketersediaan tenaga kerja Industri yang kompeten, Menteri memfasilitasi pembentukan lembaga sertifikasi profesi dan tempat uji kompetensi.
Pasal 27
(1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri mengutamakan penggunaan tenaga kerja Industri dan konsultan Industri nasional.
(2) Dalam kondisi tertentu Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dapat menggunakan tenaga kerja Industri asing dan/atau konsultan Industri asing.
(3) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan tenaga kerja Industri asing dan/atau konsultan Industri asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja Industri dan/atau konsultan Industri nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga kerja Industri dan konsultan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 28
(1) Tenaga kerja asing yang bekerja di bidang Industri harus
memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia.
(2) Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diperbolehkan bekerja dalam jangka waktu tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Menteri dapat melakukan pelarangan penggunaan tenaga kerja asing dalam rangka pengamanan kepentingan strategis Industri nasional tertentu. Bagian Ketiga Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Pasal 30
(1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.
(2) Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh:
a. Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan
b. Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah.
(3) Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyusun rencana pemanfaatan sumber daya alam.
(4) Penyusunan rencana pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu kepada Kebijakan Industri Nasional.
(5) Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
 (6) Ketentuan mengenai pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 31
Dalam rangka peningkatan nilai tambah sumber daya alam, Pemerintah mendorong pengembangan Industri pengolahan di dalam negeri.
Pasal 32
(1) Dalam rangka peningkatan nilai tambah Industri guna pendalaman dan penguatan struktur Industri dalam negeri, Pemerintah dapat melarang atau membatasi ekspor sumber daya alam.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelarangan atau pembatasan ekspor sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 33
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri.
(2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jaminan ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 34
(1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai energi wajib melakukan manajemen energi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 35
(1) Perusahaan Industri tertentu dan Perusahaan Kawasan Industri yang memanfaatkan air baku wajib melakukan manajemen air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perusahaan Industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. Bagian Keempat Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Industri
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri.
(2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri.
(3) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
Pasal 37
Menteri menetapkan kebijakan pemilihan, pengadaan, dan pemanfaatan Teknologi Industri dengan memperhatikan aspek kemandirian, ketahanan Industri, keamanan, dan pelestarian fungsi lingkungan.
Pasal 38
(1) Pemerintah dapat melakukan pengadaan Teknologi Industri.
(2) Pengadaan Teknologi Industri dilakukan melalui penelitian dan pengembangan, kontrak penelitian dan pengembangan, usaha bersama, pengalihan hak melalui lisensi, dan/atau akuisisi teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 39
(1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci.
(2) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
(4) Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang tidak melakukan alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c. penghentian sementara.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 40
(1) Pemerintah melakukan penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri yang dikembangkan di dalam negeri.
(2) Ketentuan mengenai penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 41
(1) Untuk pengendalian pemanfaatan Teknologi Industri, Pemerintah:
a. mengatur investasi bidang usaha Industri; dan
b. melakukan audit Teknologi Industri.
(2) Pengaturan investasi bidang usaha Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam melakukan audit Teknologi Industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, Menteri berkoordinasi
dengan menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang riset dan teknologi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai audit Teknologi Industri
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 42
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi:
a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri;
b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau
c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri. Bagian Kelima Pengembangan dan PemanfaatanKreativitas dan Inovasi
Pasal 43
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri.
(2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.
(3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan:
a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi;
b. pengembangan sentra Industri kreatif;
c. pelatihan teknologi dan desain;
d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan
e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri. Bagian Keenam Penyediaan Sumber Pembiayaan
Pasal 44
(1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri.
(2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan.
(3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam bentuk:
a. pemberian pinjaman;
b. hibah; dan/atau
c. penyertaan modal.
Pasal 45
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan dan/atau memberikan kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta.
(2) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. penyertaan modal;
b. pemberian pinjaman;
c. keringanan bunga pinjaman;
d. potongan harga pembelian mesin dan peralatan; dan/atau
e. bantuan mesin dan peralatan.
(3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
Pasal 46
(1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional.
(2) Penetapan kondisi dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
(3) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 47
(1) Pengalokasian pembiayaan dan/atau pemberian kemudahan pembiayaan kepada Perusahaan Industri swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan dalam rangka peningkatan daya saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir.
(2) Penetapan kondisi dalam rangka peningkatan daya saing Industri dalam negeri dan/atau pembangunan Industri pionir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 48
(1) Dalam rangka pembiayaan kegiatan Industri, dapat dibentuk lembaga pembiayaan pembangunan Industri.
 (2) Lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai lembaga pembiayaan investasi di bidang Industri.
(3) Pembentukan lembaga pembiayaan pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Undang-Undang.

BAB VII PEMBANGUNAN SARANA DAN PRASARANA INDUSTRI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 49
Pembangunan sarana dan prasarana Industri meliputi:
a. Standardisasi Industri;
b. infrastruktur Industri; dan
c. Sistem Informasi Industri Nasional. Bagian Kedua Standardisasi Industri
Pasal 50
(1) Menteri melakukan perencanaan, pembinaan, pengembangan, dan pengawasan Standardisasi Industri.
(2) Standardisasi Industri diselenggarakan dalam wujud SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara.
(3) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 51
(1) Penerapan SNI oleh Perusahaan Industri bersifat sukarela.
 (2) Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah menerapkan SNI dapat membubuhkan tanda SNI pada barang dan/atau Jasa Industri.
(3) Terhadap barang dan/atau Jasa Industri yang telah dibubuhi tanda SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Industri harus tetap memenuhi persyaratan SNI.
Pasal 52
(1) Menteri dapat menetapkan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib.
(2) Penetapan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. keamanan, kesehatan, dan keselamatan manusia, hewan, dan tumbuhan;
b. pelestarian fungsi lingkungan hidup;
c. persaingan usaha yang sehat;
d. peningkatan daya saing; dan/atau
e. peningkatan efisiensi dan kinerja Industri.
(4) Pemberlakuan SNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan SNI yang telah ditetapkan.
(5) Pemberlakuan spesifikasi teknis secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan sebagian parameter SNI yang telah ditetapkan dan/atau standar internasional.
(6) Pemberlakuan pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap barang dan/atau Jasa Industri berdasarkan tata cara produksi yang baik.
(7) Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang telah memenuhi:
a. SNI yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda SNI;
b. SNI dan spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian; atau
c. spesifikasi teknis dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, wajib dibubuhi tanda kesesuaian.
Pasal 53
(1) Setiap Orang dilarang:
a. membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian
pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak
memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis,
dan/atau pedoman tata cara; atau
b. memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib.
(2) Menteri dapat menetapkan pengecualian atas SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk impor barang tertentu.
Pasal 54
Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri.
Pasal 55
Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait menarik setiap barang yang beredar dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b.
Pasal 56
Kewajiban mematuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 oleh importer dilakukan pada saat menyelesaikan kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
Pasal 57
(1) Penerapan SNI secara sukarela sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dilakukan melalui penilaian kesesuaian.
(2) Penilaian kesesuaian SNI yang diterapkan secara sukarela sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi.
(3) Penilaian kesesuaian SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh lembaga penilaian kesesuaian yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri.
(4) Pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga penilaian kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Menteri.
Pasal 58
Untuk kelancaran pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib, Menteri:
a. menyediakan, meningkatkan dan mengembangkan sarana dan prasarana laboratorium pengujian standar Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri; dan
b. memberikan fasilitas bagi Industri kecil dan Industri menengah.
Pasal 59
Menteri mengawasi pelaksanaan seluruh rangkaian penerapan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) dan ayat (3) dan pemberlakuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal 60
(1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif.
(2) Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri yang tidak menarik barang dan/atau
menghentikan kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai Standardisasi Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Infrastruktur Industri
Pasal 62
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur Industri.
(2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
(3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri;
b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan;
c. fasilitas jaringan telekomunikasi;
d. fasilitas jaringan sumber daya air;
e. fasilitas sanitasi; dan
f. fasilitas jaringan transportasi.
(4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui:
a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha
milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau
c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Pasal 63
(1) Untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan efektif di wilayah pusat pertumbuhan Industri dibangun Kawasan Industri sebagai infrastruktur Industri.
(2) Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada kawasan peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.
(3) Pembangunan kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha swasta, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau koperasi.
(4) Dalam hal tertentu, Pemerintah memprakarsai pembangunan kawasan Industri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Sistem Informasi Industri Nasional
Pasal 64
(1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Data Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi.
Pasal 65
(1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
(2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(4) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi.
Pasal 66
Berdasarkan permintaan Menteri, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memberikan data selain Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 yang terkait dengan:
a. data tambahan;
b. klarifikasi data; dan/atau
c. kejadian luar biasa di Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri.
Pasal 67
(1) Menteri mengadakan data mengenai perkembangan dan peluang pasar serta perkembangan Teknologi Industri.
(2) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui:
a. sensus, pendataan, atau survei;
b. tukar menukar data;
c. kerja sama teknik;
d. pembelian; dan
e. intelijen Industri.
(3) Pengadaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh satuan kerja di bawah Menteri dan pejabat negara yang ditempatkan di seluruh kantor perwakilan Negara Republik Indonesia di negara lain.
(4) Data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
Pasal 68
(1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional.
(2) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. Data Industri;
b. Data Kawasan Industri;
c. data perkembangan dan peluang pasar; dan
d. data perkembangan Teknologi Industri.
(3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkoneksi dengan system informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan system informasi di negara lain atau organisasi internasional.
(4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 69
Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 70
(1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri
dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
(2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembebasan dari jabatan;
c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun;
d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun;
e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau
f. pemberhentian dengan tidak hormat.
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dan tata cara pengenaan sanksi administratif serta besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB VIIIPEMBERDAYAAN INDUSTRI
Bagian Kesatu Industri Kecil dan Industri Menengah
Pasal 72
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang:
a. berdaya saing;
b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional;
c. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja; dan
d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor.
(2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. perumusan kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan
c. pemberian fasilitas.
Pasal 73
Dalam rangka merumuskan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf a, Menteri menetapkan prioritas pengembangan Industri kecil dan Industri menengah dengan mengacu paling sedikit kepada:
a. sumber daya Industri daerah;
b. penguatan dan pendalaman struktur Industri nasional; dan
c. perkembangan ekonomi nasional dan global.
Pasal 74
(1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui:
a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan
b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi
Industri dan asosiasi profesi terkait. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 75
(1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat
(2) huruf c diberikan dalam bentuk:
a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi;
b. bantuan dan bimbingan teknis;
c. bantuan Bahan Baku dan bahan penolong;
d. bantuan mesin atau peralatan;
e. pengembangan produk;
f. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau;
g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran;
h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru;
i. penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau
j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan
Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri
besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip
saling menguntungkan.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 76
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 dan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Industri Hijau
Pasal 77
Untuk mewujudkan Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, Pemerintah melakukan:
a. perumusan kebijakan;
b. penguatan kapasitas kelembagaan;
c. Standardisasi; dan
d. pemberian fasilitas.
Pasal 78
(1) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dilakukan dengan peningkatan kemampuan dalam:
a. penelitian dan pengembangan;
b. pengujian;
c. sertifikasi; dan
d. promosi.
(2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
Pasal 79
(1) Dalam melakukan Standardisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf c, Menteri menyusun dan menetapkan standar Industri Hijau.
(2) Standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
a. Bahan Baku, bahan penolong, dan energi;
b. proses produksi;
c. produk;
d. manajemen pengusahaan; dan
e. pengelolaan limbah.
(3) Penyusunan standar Industri Hijau dilakukan dengan:
a. memperhatikan sistem Standardisasi nasional dan/atau sistem standar lain yang berlaku; dan
b. berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, bidang riset dan teknologi, bidang Standardisasi, serta berkoordinasi dengan asosiasi Industri, Perusahaan Industri, dan lembaga terkait.
(4) Standar Industri Hijau yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi Perusahaan Industri.
Pasal 80
(1) Penerapan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) secara bertahap dapat diberlakukan secara wajib.
(2) Pemberlakuan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Perusahaan Industri wajib memenuhi ketentuan standar Industri Hijau yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
c. denda administratif;
d. penutupan sementara;
e. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau
f. pencabutan izin usaha Industri.
Pasal 81
(1) Perusahaan Industri dikategorikan sebagai Industri Hijau apabila telah memenuhi standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79.
(2) Perusahaan Industri yang telah memenuhi standar Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat Industri Hijau.
(3) Sertifikasi Industri Hijau dilakukan oleh lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi dan ditunjuk oleh Menteri.
 (4) Dalam hal belum terdapat lembaga sertifikasi Industri Hijau yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat membentuk lembaga sertifikasi Industri Hijau.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh sertifikat Industri Hijau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 82
Untuk mewujudkan Industri Hijau, Perusahaan Industri secara bertahap:
a. membangun komitmen bersama dan menyusun kebijakan
perusahaan untuk pembangunan Industri Hijau;
b. menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau;
c. menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan; dan
d. mengembangkan jaringan bisnis dalam rangka memperoleh Bahan Baku, bahan penolong, dan teknologi ramah lingkungan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan tata cara pengenaan sanksi administratif serta besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Ketiga Industri Strategis
Pasal 84
(1) Industri Strategis dikuasai oleh negara.
(2) Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Industri yang:
a. memenuhi kebutuhan yang penting bagi kesejahteraan rakyat atau menguasai hajat hidup orang banyak;
b. meningkatkan atau menghasilkan nilai tambah sumber daya alam strategis; dan/atau
c. mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara.
(3) Penguasaan Industri Strategis oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pengaturan kepemilikan;
b. penetapan kebijakan;
c. pengaturan perizinan;
d. pengaturan produksi, distribusi, dan harga; dan
e. pengawasan.
(4) Pengaturan kepemilikan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. penyertaan modal seluruhnya oleh Pemerintah;
b. pembentukan usaha patungan antara Pemerintah dan swasta; atau
c. pembatasan kepemilikan oleh penanam modal asing.
(5) Penetapan kebijakan Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit meliputi:
a. penetapan jenis Industri Strategis;
b. pemberian fasilitas; dan
c. pemberian kompensasi kerugian.
(6) Izin usaha Industri Strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan oleh Menteri.
(7) Pengaturan produksi, distribusi, dan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan paling sedikit dengan menetapkan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk.
(8) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e meliputi penetapan Industri Strategis sebagai objek vital nasional dan pengawasan distribusi.
 (9) Ketentuan lebih lanjut mengenai Industri Strategis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Keempat Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri
Pasal 85
Untuk pemberdayaan Industri dalam negeri, Pemerintah meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
Pasal 86
(1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib digunakan oleh:
a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari
b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. (2) Pejabat pengadaan barang/jasa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c. pemberhentian dari jabatan pengadaan barang/jasa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan dalam hal produk dalam negeri belum tersedia atau belum mencukupi.
Pasal 87
(1) Kewajiban penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1)
dilakukan sesuai besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri.
(2) Ketentuan dan tata cara penghitungan tingkat komponen dalam negeri merujuk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Tingkat komponen dalam negeri mengacu pada daftar inventarisasi barang/jasa produksi dalam negeri yang diterbitkan oleh Menteri.
(4) Menteri dapat menetapkan batas minimum nilai tingkat komponen dalam negeri pada Industri tertentu.
Pasal 88
Dalam rangka penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86, Pemerintah dapat memberikan fasilitas paling sedikit berupa:
a. preferensi harga dan kemudahan administrasi dalam pengadaan barang/jasa; dan
b. sertifikasi tingkat komponen dalam negeri.
Pasal 89
Pemerintah mendorong badan usaha swasta dan masyarakat untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri.
Pasal 90
Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan penggunaan produk dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah. Bagian Kelima Kerja Sama Internasional di Bidang Industri
Pasal 91
(1) Dalam rangka pengembangan Industri, Pemerintah melakukan kerja sama internasional di bidang Industri.
(2) Kerja sama internasional di bidang Industri ditujukan untuk:
a. pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional;
b. pembukaan akses pada sumber daya Industri;
c. pemanfaatan jaringan rantai suplai global sebagai sumber peningkatan produktivitas Industri; dan
d. peningkatan investasi.
(3) Dalam melakukan kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat:
a. menyusun rencana strategis;
b. menetapkan langkah penyelamatan Industri; dan/atau
c. memberikan fasilitas.
(4) Dalam hal kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdampak pada Industri, terlebih dahulu dilakukan melalui konsultasi, koordinasi, dan/atau persetujuan Menteri.
Pasal 92
Pemberian fasilitas kerja sama internasional di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi:
a. bimbingan, konsultasi, dan advokasi;
b. bantuan negosiasi;
c. promosi Industri; dan
d. kemudahan arus barang dan jasa.
Pasal 93
(1) Dalam meningkatkan kerja sama internasional di bidang Industri, Pemerintah dapat menempatkan pejabat Perindustrian di luar negeri.
(2) Penempatan pejabat Perindustrian di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan untuk meningkatkan ketahanan Industri dalam negeri.
(3) Dalam hal belum terdapat pejabat Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menugaskan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan kerja sama internasional di bidang Industri.
(4) Pejabat Perindustrian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri.
Pasal 94
Pemerintah dapat membina, mengembangkan, dan mengawasi kerja sama internasional di bidang Industri yang dilakukan oleh badan usaha, organisasi masyarakat, atau warga negara Indonesia.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama internasional di bidang Industri diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX TINDAKAN PENGAMANAN DAN PENYELAMATAN INDUSTRI
Bagian Kesatu Tindakan Pengamanan Industri
Pasal 96
(1) Dalam rangka meningkatkan ketahanan Industri dalam negeri, Pemerintah melakukan tindakan pengamanan Industri.
(2) Tindakan pengamanan Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengamanan akibat kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam ketahanan dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri; dan
b. pengamanan akibat persaingan global yang menimbulkan ancaman terhadap ketahanan dan mengakibatkan kerugian Industri dalam negeri.
Pasal 97
Tindakan pengamanan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usulan Menteri.
Pasal 98
(1) Penetapan tindakan pengamanan sebagai akibat persaingan global sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) huruf b berupa tarif dan nontarif.
(2) Penetapan tindakan pengamanan berupa tariff dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan atas usul Menteri.
(3) Penetapan tindakan pengamanan berupa nontariff dilakukan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.
 (4) Tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didukung dengan program restrukturisasi Industri.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan tindakan pengamanan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Tindakan Penyelamatan Industri
Pasal 100
(1) Pemerintah dapat melakukan tindakan penyelamatan Industri atas pengaruh konjungtur perekonomian dunia yang mengakibatkan kerugian bagi Industri dalam negeri.
(2) Tindakan penyelamatan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui:
a. pemberian stimulus fiskal; dan
b. pemberian kredit program.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan penyelamatan Industri diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB X PERIZINAN, PENANAMAN MODAL BIDANG INDUSTRI, DAN FASILITAS
Bagian Kesatu Izin Usaha Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri
Pasal 101
(1) Setiap kegiatan usaha Industri wajib memiliki izin usaha Industri.
 (2) Kegiatan usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Industri kecil;
b. Industri menengah; dan
c. Industri besar.
(3) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
(5) Izin usaha Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Izin Usaha Industri Kecil;
b. Izin Usaha Industri Menengah; dan
c. Izin Usaha Industri Besar.
(6) Perusahaan Industri yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib:
a. melaksanakan kegiatan usaha Industri sesuai dengan izin yang dimiliki; dan
b. menjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan. Pasal 102
(1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf a ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
(2) Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.
(3) Industri besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (2) huruf c ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.
(4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 103
(1) Industri kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(2) Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa hanya dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia.
(3) Industri menengah tertentu dicadangkan untuk dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(4) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh Presiden.
Pasal 104
(1) Setiap Perusahaan Industri yang memiliki izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (6) dapat melakukan perluasan.
(2) Perusahaan Industri yang melakukan perluasan dengan menggunakan sumber daya alam yang diwajibkan memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan wajib memiliki izin perluasan.
Pasal 105
(1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha Kawasan Industri.
(2) Izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
(4) Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan Kawasan Industri.
Pasal 106
(1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
(2) Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
a. belum memiliki Kawasan Industri;
b. telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis;
(3) Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi:
a. Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
b. Industri yang menggunakan Bahan Baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
(4) Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di kawasan peruntukan Industri.
(5) Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 107
(1) Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1), Perusahaan Industri yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (6), dan/atau Perusahaan Industri yang tidak memiliki izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
 (2) Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1), Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (4), Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki izin perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (5), Perusahaan Industri yang tidak berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1), Perusahaan Industri yang dikecualikan yang tidak berlokasi di kawasan peruntukan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) dikenai sanksi administratif.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau
e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin usaha Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, izin perluasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, izin usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah. Bagian Kedua Penanaman Modal Bidang Industri
Pasal 109
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri. (2) Untuk mendorong penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan kebijakan yang memuat paling sedikit mengenai:
a. strategi penanaman modal;
b. prioritas penanaman modal;
c. lokasi penanaman modal;
d. kemudahan penanaman modal; dan
e. pemberian fasilitas. Bagian Ketiga Fasilitas Industri
Pasal 110
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri.
(2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri;
b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk;
c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal;
d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri;
e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri;
f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor;
g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib;
h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;
i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan
j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Pasal 111
(1) Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) berupa fiskal dan nonfiskal.
(2) Fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk fasilitas dan tata cara pemberian fasilitas nonfiskal diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI KOMITE INDUSTRI NASIONAL
Pasal 112
 (1) Dalam rangka mendukung pencapaian tujuan
pembangunan Industri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dibentuk Komite Industri Nasional.
(2) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh menteri, yang beranggotakan menteri terkait, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang berkaitan dengan Industri, dan perwakilan dunia usaha.
(3) Komite Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai tugas:
a. melakukan koordinasi dan evaluasi dalam rangka pembangunan Industri yang memerlukan dukungan lintas sektor dan daerah terkait dengan:
1. pembangunan sumber daya Industri;
2. pembangunan sarana dan prasarana Industri;
3. pemberdayaan Industri;
4. perwilayahan Industri; dan
5. pengamanan dan penyelamatan Industri;
b. melakukan pemantauan tindak lanjut hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. melakukan koordinasi pelaksanaan kewenangan pengaturan yang bersifat teknis untuk bidang Industri tertentu dalam rangka pembinaan, pengembangan, dan pengaturan Industri; dan
d. memberi masukan dalam pemantauan dan evaluasi pelaksanaan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, dan Rencana Kerja Pembangunan Industri.
(4) Ketentuan mengenai susunan organisasi dan tata kerja Komite Industri Nasional diatur dalam Peraturan Presiden.
Pasal 113
Untuk mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (3), Komite Industri Nasional dapat membentuk kelompok kerja yang terdiri dari pakar terkait di bidang Industri yang berasal dari unsure pemerintah, asosiasi Industri, akademisi, dan/atau masyarakat.
Pasal 114
(1) Pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional didukung oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian.
(2) Biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan tugas Komite Industri Nasional dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.

BAB XII PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 115
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk:
a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau
b. penyampaian informasi dan/atau laporan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 116
(1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha Industri.
(2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 117
(1) Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Industri dan kegiatan usaha Kawasan Industri.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang
Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri.
(3) Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
a. sumber daya manusia Industri;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. manajemen energi;
d. manajemen air;
e. SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara;
f. Data Industri dan Data Kawasan Industri;
g. standar Industri Hijau;
h. standar Kawasan Industri;
i. perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; dan
j. keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan.
(4) Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat dari unit kerja di bawah Menteri dan/atau lembaga terakreditasi yang ditunjuk oleh Menteri.
(5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersamawww. sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan pengendalian usaha Industri dan usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 118
Dalam hal pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan Pasal 117 ayat (3) huruf e ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, pejabat atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (4) dan ayat (5) melapor kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian.

BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 119
(1) Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan dari Setiap Orang tentang adanya dugaan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenaan dengan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi dalam perkara tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
d. memanggil dan melakukan pemeriksaan terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
e. meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang sehubungan dengan peristiwa tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
f. melakukan pemeriksaan dan penggeledahan di tempat tertentu yang diduga menjadi tempat penyimpanan atau tempat diperoleh barang bukti dan menyita benda yang dapat digunakan sebagai barang bukti dan/atau alat bukti dalam tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
g. meminta bantuan tenaga ahli dalam melakukan penyidikan tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri;
h. menangkap pelaku tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri; dan/atau
i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana mengenai SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum.
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan, melaporkan hasil penyidikan, dan memberitahukan penghentian penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik Pegawai Negeri Sipil dapat meminta bantuan kepada aparat penegak hukum.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 120
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 121 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dikenakan terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya.

BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 122
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang telah beroperasi dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal diundangkan.
BAB XVII

KETENTUAN PENUTUP
Pasal 123
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 3274) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini; dan
c. Izin Usaha Industri dan/atau Izin Perluasan Industri, Tanda Daftar Industri atau izin yang sejenis, yang telah dimiliki oleh Perusahaan Industri dan Izin Usaha Kawasan Industri dan/atau Izin Perluasan Kawasan Industri yang telah dimiliki oleh Perusahan Kawasan Industri yang telah dikeluarkan berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274) dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan masih beroperasi sesuai dengan izin yang diberikan. Pasal 124  Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 125 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2014 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 4 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 013 TENTANG PERINDUSTRIAN
I. UMUM
Pembangunan nasional harus memberi manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur di dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diselenggarakan berdasarkan prinsip demokrasi ekonomi. Pembangunan nasional dilaksanakan dengan memanfaatkan kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh dan didukung oleh nilai-nilai budaya luhur bangsa, guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan ketahanan bangsa untuk kepentingan nasional. Pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan untuk menciptakan struktur ekonomi yang mandiri, sehat dan kukuh dengan menempatkan pembangunan Industri sebagai penggerak utama. Globalisasi dan liberalisasi membawa dinamika perubahan yang sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian nasional. Di satu sisi pengaruh yang paling dirasakan adalah terjadi persaingan yang semakin ketat dan di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga pembangunan Industri memerlukan berbagai dukungan dalam bentuk perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Pembangunan sektor Industri telah memiliki landasan hukum Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian sebagai penjabaran operasional Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33. Namun, landasan hukum tersebut sudah tidak memadai sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru guna mengantisipasi dinamika perubahan lingkungan strategis, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Perubahan internal yang sangat berpengaruh adalah dengan diberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah membawa konsekuensi pergeseran peran dan misi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pembangunan Industri. Perubahan eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan Industri ditandai dengan telah diratifikasi perjanjian internasional yang bersifat bilateral, regional, dan multilateral yang mempengaruhi kebijakan nasional di bidang Industri, investasi, dan perdagangan. Penyempurnaan Undang-Undang tentang Perindustrian bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus mampu menjadi landasan hukum bagi tumbuh, berkembang, dan kemajuan Industri nasional. Undang-Undang tentang Perindustrian yang baru diharapkan dapat menjadi instrumen pengaturan yang efektif dalam pembangunan Industri dengan tetap menjamin aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia serta kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pokok-pokok pengaturan dalam undang-undang yang baru meliputi penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian, Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional, Kebijakan Industri Nasional, perwilayahan Industri, pembangunan sumber daya Industri, pembangunan sarana dan prasarana Industri, pemberdayaan Industri, tindakan pengamanan dan penyelamatan Industri, perizinan, penanaman modal bidang Industri dan fasilitas, Komite Industri Nasional, peran serta masyarakat, serta pengawasan dan pengendalian.

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kepentingan nasional” adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh elemen bangsa.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah semangat kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dalam kesatuan ekonomi nasional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kepastian berusaha” adalah iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara peraturan perundang-undangan dengan pelaksanaannya.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemerataan persebaran” adalah upaya untuk mewujudkan pembangunan Industri di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki pada setiap daerah.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “persaingan usaha yang sehat” adalah persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara yang jujur dan taat terhadap hukum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “keterkaitan Industri” adalah hubungan antar-Industri dalam mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai untuk mewujudkan struktur Industri nasional yang sehat dan kokoh. Keterkaitan Industri dapat berupa keterkaitan yang dimulai dari penyediaan Bahan Baku, proses manufaktur, jasa pendukung Industri, sampai distribusi ke pasar dan pelanggan, dan/atau keterkaitan yang melibatkan Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan” adalah pembangunan sektor Industri sebagai penggerak ekonomi nasional harus dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita nasional. Tujuan utama pembangunan Industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga Negara Indonesia.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “rantai nilai” (value chain) adalah serangkaian urutan kegiatan utama dan kegiatan pendukung yang dilakukan Perusahaan Industri untuk mengubah input (Bahan Baku) menjadi output (barang jadi) yang memiliki nilai tambah bagi pelanggan/konsumen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pembangunan sumber daya manusia Industri” adalah menyiapkan sumber daya manusia di bidang Industri yang mempunyai kompetensi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja professional di bidang Industri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang Industri di pusat dan di daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “inkubator Industri” adalah lingkungan dan program dengan karakteristik tertentu yang menawarkan bantuan teknis dan manajemen kepada perorangan, perusahaan, atau calon perusa-haan untuk menghasilkan perusahaan atau calon perusahaan yang siap berbisnis secara profesional.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kemitraan” adalah kerja sama pengembangan sumber daya manusia antara Industri kecil dengan Industri menengah dan/atau Industri besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan saling menguntungkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pendidikan formal” yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pendidikan nonformal” yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Asosiasi Industri merupakan organisasi yang didirikan oleh pelaku usaha Industri di sektor usaha Industri tertentu guna memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah kondisi yang menunjukkan tidak atau belum cukup tersedia tenaga kerja Industri atau konsultan Industri nasional yang kompeten sesuai dengan jenis kegiatan dan keahlian yang dibutuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jenis pekerjaan tertentu” adalah jenis pekerjaan yang mempunyai risiko tinggi terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan, baik terhadap pekerja maupun produk yang dihasilkan seperti pekerjaan: pembuatan boiler, operator reaktor nuklir, pengelasan di bawah air, proses penggunaan radiasi, dan pengoperasian bejana bertekanan (pressure vessel).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” yaitu belum cukup tersedia tenaga kerja Industri dan/atau konsultan Industri yang kompeten di dalam negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Sumber daya alam dalam ketentuan ini merupakan sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air baku untuk Industri. Sumber daya alam dimaksud meliputi sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara langsung dari alam, antara lain, mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, kayu, air, dan panas bumi, serta sumber daya lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam” adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan Industri dalam negeri baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri” adalah pengendalian ekspor atas Bahan Baku yang berasal dari sumber daya alam non hayati seperti bahan galian tambang, logam dan non logam (bijih besi, bauksit, pasir besi, pasir kuarsa dan lain-lain), atau yang bersifat hayati, seperti hasil hutan, dengan mengutamakan kebutuhan dalam negeri. Ekspor Bahan Baku dimungkinkan hanya apabila kebutuhan Industri dalam negeri sudah tercukupi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri tertentu” adalah Industri yang rata-rata mengonsumsi energi lebih besar atau sama dengan batas minimum konsumsi energi yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan konservasi energi, misalnya Industri semen, besi dan baja, tekstil, pulp dan kertas, petrokimia, pupuk, dan keramik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan “aspek kemandirian” adalah pemilihan, pengadaan, dan pemanfaatan Teknologi Industri harus memperhatikan hak Perusahaan Industri dalam pemanfaatan teknologi yang sesuai dengan karakteristik Industri masing-masing tanpa melanggar atau merugikan pihak lain. Yang dimaksud dengan “aspek ketahanan Industri” adalah Industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penelitian dan pengembangan” adalah kegiatan yang menghasilkan penemuan baru yang bermanfaat bagi Industri atau pengembangan dalam rangka peningkatan efisiensi dan produktivitas Industri. Yang dimaksud dengan “usaha bersama” adalah joint venture.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah suatu keadaan dimana kebutuhan pembangunan Industri sangat mendesak sementara teknologi belum dikuasai dalam desain, perekayasaan, pengadaan dan pembangunan (engineering, procurement, construction). Yang dimaksud dengan “proyek putar kunci” adalah pengadaan teknologi dengan membeli suatu proyek teknologi secara lengkap mulai dari pengkajian (asesmen), rancang bangun dan perekayasaan, implementasi (pengoperasian) dan penyerahan dalam kondisi siap digunakan, atau yang selanjutnya dikenal
dengan istilah turnkey project. Dalam perjanjian pengadaan teknologi melalui proyek putar kunci juga
mencakup pelatihan dan dukungan operasional yang berkelanjutan. Rancang bangun dalam pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan perencanaan pendirian Industri/pabrik secara keseluruhan atau bagianbagiannya. Perekayasaan dalam pengertian di atas adalah kegiatan Industri yang terkait dengan perancangan dan pembuatan mesin/peralatan pabrik dan peralatan
Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penjaminan risiko atas pemanfaatan Teknologi Industri” adalah penjaminan kepada Industri yang memanfaatkan teknologi hasil penelitian dan pengembangan teknologi dari dalam negeri (lembaga penelitian, perusahaan, perguruan tinggi, dan sebagainya) yang belum teruji.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengendalian pemanfaatan Teknologi Industri” adalah pembatasan dan pelarangan pemanfaatan teknologi yang dinilai tidak layak untuk Industri, antara lain, boros energi, berisiko pada keselamatan dan keamanan, serta berdampak negatif pada lingkungan. Yang dimaksud dengan “audit Teknologi Industri” adalah cara untuk melaksanakan identifikasi kekuatan dan kelemahan aset teknologi (tangible and intangible asset) dalam
rangka pelaksanaan manajemen teknologi sehingga manfaat teknologi dapat dirasakan sebagai faktor yang penting dalam meningkatkan mutu kehidupan umat manusia dan meningkatkan daya saing Industri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan” adalah peraturan perundang-undangan mengenai bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan bagi penanaman modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “budaya Industri” adalah sesuatu yang dimiliki oleh
masyarakat Industri yang sekurang-kurangnya terdiri atas penerapan sikap
mental dan moralitas yang diwujudkan dalam nilai-nilai efisiensi, tanggung
jawab sosial, kedisiplinan kerja, kepatuhan pada aturan, keharmonisan dan
loyalitas, demokrasi ekonomi, nasionalisme, dan kepercayaan diri. Yang dimaksud dengan “kearifan lokal” merupakan gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Contoh: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Industri kreatif” adalah Industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memberikan kemudahan pembiayaan” adalah memberikan keringanan persyaratan dalam mendapatkan pembiayaan yang digunakan untuk pengembangan Industri dalam rangka antara lain promosi efisiensi energi, pengurangan emisi gas dan rumah kaca, penggunaan Bahan Baku dan bahan bakar terbarukan, serta pengembangan sumber daya manusia dan teknologi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keringanan bunga pinjaman” adalah bantuan Pemerintah kepada Perusahaan Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya bunga dalam pembelian peralatan dan mesin dan/atau modal kerja.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “potongan harga” adalah bantuan Pemerintah kepada Perusahaan Industri dalam bentuk menanggung sebagian biaya dalam pembelian peralatan dan mesin.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Industri pionir” adalah Industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Yang dimaksud dengan “seluruh rangkaian” adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menjamin tersedianya infrastruktur Industri” adalah memprioritaskan program penyediaan infrastruktur bagi kegiatan Industri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kawasan peruntukan Industri” adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tata guna tanah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu” adalah kondisi pada saat pihak swasta tidak berminat atau belum mampu untuk membangun Kawasan Industri, sementara Pemerintah perlu mempercepat industrialisasi di wilayah pusat pertumbuhan Industri dengan mempertimbangkan geoekonomi, geopolitik dan geostrategis. Yang dimaksud dengan “memprakarsai” adalah melakukan investasi langsung untuk membangun kawasan Industri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Data Industri meliputi Data Industri pada tahap pembangunan dan Data Industri pada tahap produksi/komersial. Data Industri pada tahap pembangunan antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek pembangunan, aspek teknis yang terkait dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta aspek pengelolaan. Data Industri pada tahap produksi/komersial antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek kegiatan Industri, aspek teknis, dan aspek pengelolaan. Aspek pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak social masyarakat, energi, sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di bidang Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyampaian Informasi Industri kepada Menteri termasuk hasil pelaksanaan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan Industri di daerah yang
bersangkutan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Data Kawasan Industri meliputi Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan dan Data Kawasan Industri pada tahap komersial. Data Kawasan Industri pada tahap pembangunan antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek perencanaan, aspek pembangunan, aspek teknis yang
terkait dengan pembangunan, kelengkapan sarana dan prasarana, serta aspek pengelolaan. Data Kawasan Industri pada tahap komersial antara lain meliputi legalitas perusahaan, aspek kegiatan kawasan Industri, aspek teknis, dan aspek pengelolaan. Aspek pengelolaan antara lain meliputi lingkungan, dampak social masyarakat, energi, sumber daya, manajemen perusahaan, dan kerja sama internasional di bidang Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 66 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kejadian luar biasa dapat berupa pemogokan dan kecelakaan kerja yang bersifat masif, pemindahan kepemilikan yang menyebabkan terjadinya pemusatan atau penguasaan Industri oleh satu kelompok atau orang tertentu, individu atau asing.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Sistem Informasi Industri Nasional yang dikembangkan antara lain secara online melalui media internet untuk memberikan kemudahan kepada pelaku usaha Industri dalam menyampaikan data kegiatan usahanya dan instansi pembina Industri dan menteri terkait dalam menyampaikan hasil pengolahan Informasi Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69
Data Industri dan/atau Data Kawasan Industri yang dilarang disampaikan atau diumumkan adalah data individu Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang belum diolah.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional” adalah memberikan kontribusi besar dalam perubahan struktur Industri dan memperkuat perekonomian nasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Huruf a
Perumusan kebijakan untuk pembangunan Industri menuju Industri Hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri baru, sedangkan pengembangan Industri menuju Industri Hijau ditujukan bagi Perusahaan Industri yang telah berproduksi dan/atau akan melakukan perluasan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelembagaan” adalah institusi yang ada di dalam kementerian maupun di luar kementerian. Yang dimaksud dengan “peningkatan kemampuan” adalah optimalisasi kemampuan perangkat lunak (software) dan perangkat keras (hardware) yang mendukung pengembangan Industri Hijau termasuk sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan “promosi” adalah kegiatan untuk menyebarluaskan informasi kepada masyarakat Industri dan konsumen untuk meningkatkan kepedulian dan pengetahuan tentang manfaat Industri Hijau, serta untuk ikut berpartisipasi dalam penerapan Industri Hijau dan mendorong penggunaan produk ramah lingkungan (eco product), termasuk pemberian penghargaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Huruf a
Yang dimaksud dengan “membangun komitmen” adalah tekad untuk mewujudkan Industri Hijau sebagai budaya kerja bagi seluruh tenaga kerja Industri.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “menerapkan kebijakan pembangunan Industri Hijau” adalah melakukan proses produksi melalui produksi bersih dan mengurangi, menggunakan kembali, mengolah kembali, dan memulihkan, atau yang dikenal dengan istilah 4R (reduce, reuse, recycle, recovery).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “menerapkan sistem manajemen ramah lingkungan” adalah Perusahaan Industri memperhatikan dan menerapkan prinsip-prinsip perlindungan fungsi lingkungan hidup dengan melaksanakan kegiatan monitoring, evaluasi, dan perbaikan yang berkelanjutan (continous improvement).
Huruf d
Yang dimaksud dengan “teknologi ramah lingkungan” adalah teknologi yang hemat dalam penggunaan Bahan Baku, bahan penolong, energi, dan air dalam proses produksi serta meminimalkan limbah, termasuk optimalisasi diversifikasi energi.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Usaha patungan antara Pemerintah dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembatasan kepemilikan” adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 85
Peningkatan penggunaan produk dalam negeri dilakukan dalam rangka lebih menjamin kemandirian dan stabilitas perekonomian nasional, serta meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Yang dimaksud dengan “produk dalam negeri” adalah barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang menggunakan sebagian tenaga kerja bangsa/warga negara Indonesia, yang prosesnya menggunakan Bahan Baku/komponen dalam negeri dan/atau sebagian impor.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kerja sama internasional di bidang Industri” adalah kerja sama yang dilakukan secara bilateral, regional, atau multilateral di bidang Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Laporan antara lain memuat peluang atau potensi kerja sama Industri, profil Industri unggulan negara yang bersangkutan, serta perkembangan pelaksanaan kerja sama internasional di bidang Industri.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kebijakan, regulasi, dan/atau iklim usaha yang mengancam Industri dalam negeri dapat berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelamatan” adalah tindakan atau kebijakan yang dilakukan Pemerintah dalam memulihkan Industri dalam negeri yang mengalami kerugian akibat pengaruh perubahan yang sangat dinamis (konjungtur) perekonomian dunia, seperti gejolak naik turunnya kemajuan dan kemunduran ekonomi dunia yang terjadi secara berganti-ganti, sehingga dapat berdampak sistemik terhadap perekonomian nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
www.bpkp.go.id
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai investasi” adalah nilai tanah dan bangunan, mesin peralatan, sarana dan prasarana, tidak termasuk modal kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Industri yang memiliki keunikan dan merupakan warisan budaya bangsa” adalah Industri yang memiliki berbagai jenis motif, desain produk, teknik pembuatan, keterampilan, Bahan Baku, yang berbasis pada kearifan lokal misalnya batik (pakaian tradisional), ukir-ukiran kayu dari Jepara dan Yogyakarta, kerajinan perak, dan patung asmat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri” adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perwakilan dunia usaha paling sedikit mencakup wakil dari Kamar Dagang dan Industri dan asosiasi Industri terkait.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.

Pasal 119
Ayat (1)
Sepanjang menyangkut kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-Undangan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi Pemerintah yang ruang lingkup dan tanggung jawabnya di bidang kepabeanan berwenang melakukan penyidikan di bidang Perindustrian yang terkait SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib yang terjadi di kawasan pabean dengan berkoordinasi dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5492
Sumber:
www.bpkp.go.id